Puisi berjudul Abimanyu karya R. Djoko Prakosa merupakan salah satu puisi yang dimuat dalam buku kumpulan geguritan berjudul Adu Merak Adu Sapi. Puisi ini perlu dianalisis lebih mendalam terkait makna yang ingin disampaikan oleh sang penyair. Dalam mengapresiasi puisi ini, penulis menggunakan pendekatan mimesis.
Pendekatan mimesis adalah kajian sastra yang menitikberatkan pada hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi realitas (Abrams, 1981:89). Puisi ini menggambarkan pengorbanan Abimanyu dalam kehidupan, hingga menimbulkan luka yang berujung pada kematian tragis. Puisi ini berkaitan dengan sejarah serta pengalaman hidup penyair yang tertuang dalam karya tersebut. Berikut puisinya:
Abimanyu
Karya R. Djoko Prakosa
Darah merah
Bunga melati di mulut
Bergambir
Mata-mata keris politik di dunia ini
Melepaskan seribu senjata mengayak pertempuran suci
Mengetuk pintu surga
Leher, dada, badanmu menerobos berani
Menghadapi seribu senjata
Pertempuran, sambatan, dan tangis Barata berbunyi
Seperti berhembusnya tembang surga
Memerah badanmu
Memeluk
Bumi
Pada larik pertama, bait pertama yang berbunyi Darah merah menggambarkan perjuangan dan pengorbanan dalam kehidupan Abimanyu saat perang Baratayuda. Sumpah palsu yang diucapkan Abimanyu kepada Dewi Utari menjadi kenyataan.
Hal ini membuat Abimanyu berani dan rela berkorban, meskipun diserang oleh pasukan Kurawa. Semua senjata diarahkan ke tubuh Abimanyu hingga tubuhnya berlumuran darah. Darah merah melambangkan tekad yang membara—tekad yang tak tergoyahkan demi memenuhi janji. Oleh karena itu, risiko apa pun dihadapi tanpa ragu.
Darah yang mengalir menjadi simbol bahwa sebuah tekad yang diilhami akan membawa risiko besar, bahkan mengorbankan jiwa dan raga.
Baca Juga: Modernisme yang Tabu
Pada larik kedua dan ketiga, bait pertama yang berbunyi Bunga melati di mulut bergambir menggambarkan keindahan dan kesucian dalam perang Baratayuda, menggunakan kata-kata indah sebagai wujud kehidupan.
Meskipun penuh masalah, selalu ada kesempatan untuk menemukan solusi. Bunga melati di mulut bergambir bermakna mendalam: darah yang mengalir dari mulut melambangkan perjuangan suci, bukan kehinaan atau penderitaan. Darah tersebut justru diibaratkan seperti bunga melati yang harum dan suci.
Pada larik keempat, bait pertama yang berbunyi Mata-mata keris politik di dunia ini menggambarkan prajurit Pandawa yang mengawasi Abimanyu dengan senjata tajam hingga akhirnya ia melawan sendirian di tengah pasukan Kurawa. Peristiwa ini berujung pada kematian tragis Abimanyu.
Mata-mata keris politik dimaknai sebagai simbol tajamnya fitnah. Setiap lekukan keris merepresentasikan kekejian dan kekejaman, yang sering kali hadir dalam perang dan politik.
Pada larik kelima, bait kedua yang berbunyi Melepaskan seribu senjata mengayak pertempuran suci menggambarkan pertempuran sengit yang dipenuhi semangat tak terkendali. Seribu senjata dilepaskan demi kemenangan. Dalam pertempuran ini, hanya mereka yang tangguh dan kebal yang akan bertahan, meski harus berlumuran darah demi pengabdian suci.
Pada larik keenam, bait kedua yang berbunyi Mengetuk pintu surga menggambarkan pengorbanan Abimanyu yang dianggap sebagai kehormatan. Ia percaya bahwa kebenaran yang diperjuangkan akan membawa kemenangan, meskipun berakhir dengan kematian. Tekadnya mengarah pada keyakinan bahwa surga adalah imbalannya.
Pada larik ketujuh dan kedelapan, bait kedua yang berbunyi Leher, dada, badanmu menerobos berani menghadapi seribu senjata menggambarkan keberanian Abimanyu dalam menghadapi bahaya. Janji sucinya dilakukan hingga nafas terakhir, bahkan dengan senyum di wajahnya, seolah mengetuk pintu surga.
Baca Juga: Rokok dan Kehidupan
Pada larik kesembilan dan kesepuluh, bait ketiga yang berbunyi Pertempuran, sambatan, dan tangis Barata berbunyi seperti berhembusnya tembang surga menggambarkan kesedihan keluarga Barata akibat kehilangan yang mendalam. Tembang surga melambangkan harapan, kedamaian, dan keindahan pasca-pertempuran.
Pada larik kesebelas, keduabelas, dan terakhir, bait ketiga yang berbunyi Memerah badanmu memeluk bumi menggambarkan perjuangan keras Abimanyu hingga pengorbanan terakhir demi tujuan mulia. Memeluk bumi melambangkan keteguhan menghadapi tantangan dan semangat untuk terus berjuang, meskipun dalam kondisi sulit.
Secara keseluruhan, puisi Abimanyu karya R. Djoko Prakosa menampilkan keberanian, tekad, dan pengorbanan seorang Abimanyu dalam perang Baratayuda. Kisah ini menggambarkan bagaimana sumpah palsunya berbuah kenyataan, serta perjuangannya yang penuh tekad untuk menghadapi risiko demi kehormatan. Pesan yang ingin disampaikan adalah motivasi untuk terus berjuang, tak menyerah menghadapi tantangan, meskipun sulit.