Efisiensi Anggaran dan Program Makan Bergizi Gratis: Solusi Tepat atau Membuat Melarat?

Opini Aida Aprilia
Opini Aida Aprilia

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menginisiasi kebijakan efisiensi anggaran sebagai langkah awal untuk mengoptimalkan alokasi dana pada program-program prioritas nasional.

Salah satu program unggulan yang kini tengah menjadi sorotan adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang untuk menekan angka malnutrisi dan stunting, terutama di kalangan balita, anak-anak usia sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik semangat efisiensi dan upaya memperkuat ketahanan gizi nasional, muncul sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah pemangkasan anggaran ini benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat? Atau justru membuka ruang baru bagi praktik korupsi yang membebani keuangan negara?

Mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, kementerian dan lembaga diwajibkan melakukan peninjauan ulang terhadap pagu anggaran. Sejumlah kementerian pun merespons dengan melakukan pemangkasan signifikan.

Kementerian Perdagangan, misalnya, memangkas pagu anggaran tahun 2025 hingga 38,88%, dari Rp1,853 triliun menjadi Rp1,132 triliun. Langkah serupa diambil Kementerian Agama yang menerbitkan Surat Edaran tentang Efisiensi Anggaran sebagai tindak lanjut dari instruksi tersebut.

Secara teoritis, kebijakan efisiensi ini dapat memperbaiki tata kelola keuangan negara. Namun di lapangan, pemotongan anggaran yang kurang selektif bisa berdampak pada penurunan kualitas layanan publik. Beban kerja pegawai negeri sipil pun berpotensi meningkat, sementara potensi kebocoran anggaran tetap mengintai apabila pengawasan tidak diperkuat.

Program MBG yang diluncurkan pada 6 Januari 2025, menjadi wujud konkret dari kebijakan ini. Tujuannya sangat mulia: memastikan setiap anak mendapatkan asupan nutrisi yang layak guna mendukung kemampuan belajar mereka. Program ini bahkan turut mendorong kebiasaan menabung di kalangan pelajar sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kemandirian finansial sejak dini.

Sayangnya, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari ideal. Kasus keracunan makanan yang menimpa puluhan siswa di Sukoharjo, Jawa Tengah, usai mengonsumsi makanan gratis dari program ini menimbulkan kekhawatiran publik.

Muncul pertanyaan tentang standar keamanan pangan, kualitas bahan makanan, hingga kontrol rantai distribusi yang belum optimal. Di sisi lain, kebutuhan tambahan anggaran sekitar Rp100 triliun untuk mempercepat program ini menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal dan potensi peningkatan utang negara.

Dalam perspektif keuangan syariah, kebijakan efisiensi anggaran dan pelaksanaan program MBG perlu dipertimbangkan secara mendalam berdasarkan prinsip keadilan (‘adl), transparansi (shafafiyah), dan kemaslahatan umum (maslahah).

Keadilan menuntut pengalokasian anggaran yang proporsional agar tidak mengorbankan sektor vital. Sementara itu, transparansi menjadi prasyarat mutlak agar proses pengadaan dan distribusi makanan dapat diawasi oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat.

Prinsip kemaslahatan umum menegaskan bahwa setiap kebijakan publik harus memberikan manfaat nyata dan menghindari kemudaratan. Jika dalam pelaksanaannya program justru menimbulkan masalah baru seperti penurunan kualitas layanan atau munculnya korupsi, maka perlu ada evaluasi menyeluruh dan perbaikan yang segera dilakukan.

Program MBG memang berpotensi menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan gizi anak bangsa. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada keseriusan pemerintah dalam memastikan kualitas pelaksanaannya, pengawasan yang ketat, serta keterlibatan publik sebagai mitra pengawas.

Tanpa hal-hal tersebut, efisiensi anggaran dan program makan bergizi justru berisiko menjadi beban baru yang menyulitkan masyarakat, alih-alih menjadi jalan keluar dari problem ketimpangan gizi dan kemiskinan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *