Global March to Gaza: Aksi Nyata Kemanusiaan Melampaui Tagar

Ilustrasi foto. (Sohail Shahzad/EPA)
Ilustrasi foto. (Sohail Shahzad/EPA)

Sudah cukup lama linimasa media sosial kita dipenuhi oleh unggahan bertagar #PrayForGaza, #PrayForRafah, atau #FreePalestine. Tagar ini menjadi simbol solidaritas dari jutaan orang di seluruh dunia, dibarengi doa, kutipan orasi, dan bentuk aktivisme daring lainnya. Palestina, khususnya Gaza, memang tidak kekurangan simpati.

Kita sudah mengirimkannya dalam bentuk tagar, air mata, dan unggahan yang mengutuk kekejaman. Kita menunduk sedih saat melihat foto anak-anak yang terbujur di bawah reruntuhan bangunan. Kita mengetik “#FreePalestine” dengan harapan itu akan cukup.

Bacaan Lainnya

Namun, Gaza tetap dibom. Rafah tetap ditutup. Dan simpati, seperti yang terjadi berulang kali, tidak pernah cukup untuk menghentikan peluru.

Dari simpati yang semula bersifat virtual, akhirnya lahir sebuah gerakan nyata bernama Global March to Gaza. Gerakan ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat dari seluruh dunia, bukan hanya umat Muslim, tetapi siapa pun yang masih memiliki nurani kemanusiaan. Mereka datang membawa kegelisahan mendalam melihat bagaimana nyawa manusia seolah tidak lagi bernilai di mata dunia selama lebih dari dua dekade.

Sebenarnya, Global March to Gaza bukan gerakan baru. Ia diperkenalkan pertama kali pada tahun 2012 sebagai respons atas kekejaman yang terus berlangsung di Gaza. Kini, di tengah eskalasi agresi yang semakin brutal dan keheningan lembaga-lembaga internasional, gerakan ini kembali hidup dengan bentuk yang lebih berani dan terorganisir. Sejak 15 Juni 2025, aksi ini kembali digelar, kali ini tidak hanya sebagai simbol solidaritas, tetapi sebagai langkah nyata menuju wilayah konflik.

Inilah yang membedakan Global March to Gaza dari bentuk solidaritas lainnya. Gerakan ini tidak berhenti pada kesedihan atau kata-kata, melainkan benar-benar melangkah secara harfiah menuju pusat krisis. Para peserta datang bukan membawa tangisan, tetapi tekad.

Mereka tidak menawarkan pelukan, tetapi perlawanan—tanpa kekerasan. Sayangnya, semangat mereka kini harus terbentur kenyataan pahit: Mesir menolak memberikan akses, bertolak belakang dari harapan para aktivis yang mengira Mesir akan memudahkan jalur masuk ke Gaza.

Mengapa Global March ini begitu penting? Karena gerakan ini menyuarakan satu kebenaran yang sering dikaburkan oleh diplomasi: Gaza bukan hanya korban kekejaman Israel, tetapi juga korban dari ketakutan kolektif dunia internasional. Saat para pemimpin dunia sibuk berdebat soal resolusi dan prosedur, rakyat biasa memilih untuk berjalan, menyuarakan hati nurani mereka.

Lantas, apakah perjuangan ini akan berhenti di sini karena ketidakpedulian Mesir terhadap penderitaan rakyat Gaza? Jawabannya tidak. Sebaliknya, ini bisa menjadi pintu menuju gelombang Global March to Gaza yang lebih besar dan lebih kuat. Kehadiran gerakan ini membuktikan bahwa rakyat biasa bisa bersuara lebih lantang dan bergerak lebih berani dibanding aparat negara yang kerap terbelenggu oleh kepentingan diplomatik.

Gerakan ini layaknya sekelompok prajurit tanpa panglima. Mereka berjalan dengan keberanian, tetapi tanpa perlindungan dari kekuatan besar. Maka, dunia Islam seharusnya menjadi tameng sekaligus pemimpin perjuangan ini.

Bukan hanya satu negara, tetapi seluruh umat Islam seharusnya bersatu untuk melawan ketidakadilan yang terus dibiarkan berlangsung. Sayangnya, kenyataan yang kita hadapi justru menunjukkan bahwa banyak negara Islam justru sibuk menjalin kesepakatan dengan negara adidaya yang berada di balik agresi tersebut.

Meski demikian, kita tidak boleh menyerah. Kita tidak boleh berhenti menyuarakan kemerdekaan dan keadilan untuk Gaza. Mungkin hasilnya tidak akan tampak sekarang, tapi perjuangan tidak akan sia-sia. Semua bentuk aspirasi, dukungan, dan aksi nyata akan membuahkan hasil pada waktunya.

Kita harus terus berusaha: menyuarakan penderitaan Gaza, memberikan bantuan jika memungkinkan, dan yang terpenting, berdoa kepada Tuhan agar rakyat Gaza diberikan kekuatan hati, jiwa, dan raga.

Gaza tidak kekurangan simpati. Kita sudah mengirimkannya dalam bentuk tagar, air mata, dan unggahan solidaritas. Tapi Gaza tetap dibom. Rafah tetap ditutup. Dan simpati, seperti biasa, tidak menghentikan peluru.

Namun, kita percaya bahwa setelah badai, pelangi akan datang. Gaza akan merdeka. Hari itu akan datang.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *