Hujan dan Kerinduan


Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair yang hidup di Angkatan 66. Ia dikenal sebagai pujangga yang mempelopori karya kreatif yang menggambarkan alam sekitar. Dalam karya-karyanya, ia selalu mendeskripsikan keindahan dan makna alam secara mendalam.

Salah satu karya terkenalnya adalah puisi “Hujan Bulan Juni”, yang diambil dari antologi berjudul Antologi Puisi Sapardi Djoko Damono. Kumpulan puisi ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017.

Bacaan Lainnya

Dalam analisis ini, saya menggunakan pendekatan psikologi karya untuk mendalami makna “Hujan Bulan Juni”. Pendekatan ini dipilih karena puisi tersebut sangat kaya akan nuansa emosional dan menggambarkan pengalaman batin yang mendalam.

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya titik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Hujan bulan Juni tidak serta merta menggambarkan hujan pada Bulan Juni. Secara garis besar, iklim di Indonesia, ketika bulan Juni, mestinya sudah tidak masuk musim hujan. Namun, dalam puisi ini, hujan turun pada bulan Juni. Apakah hal itu disebabkan karena pergantian iklim yang terjadi di Indonesia? Tidak.

Dilihat dari larik pembuka dan kedua pada puisi ini, nampaknya ada yang janggal jika kita mengartikan hujan bulan Juni secara harfiah. Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Klausa “tabah” seolah-olah ingin mengarahkan pembaca pada arti lain.

Kemunculan kata tabah, seperti menyiratkan makna keterpaksaan. Bagaimana jika kita menarik makna tersebut pada hal yang umum terjadi? Misalnya, cinta. Bagaimana jika kita bilang bahwa hujan bulan Juni diartikan sebagai sebuah tangisan di bulan Juni? Coba kita lihat pada larik ketiga dalam bait pertama, dirahasiakannya titik rindu.

“Rindu” seperti menyiratkan pada hubungan dua sejoli yang mungkin telah mengalami kerenggangan dalam hubungannya. Rindu, yang dirahasiakan seolah ingin menunjukkan pembaca pada sumber hujan pada bulan juni. Biasanya, pasangan yang sama-sama menahan rindu akan menangis. H

ujan sendiri dianggap sebagai metafor dari sebuah tangisan yang terjadi pada si aku-lirik dalam puisi ini. Rintik hujan yang “merahasiakan rindunya” mengindikasikan pengendalian diri dalam mengungkapkan rasa cinta atau kerinduan. Kondisi ini mungkin merepresentasikan perasaan aku-lirik yang memilih mengekspresikan emosinya metafora hujan.

Larik keempat, kepada pohon berbunga itu, menyiratkan bahwa kata “bunga” meruapakan seorang perempuan. Aku-lirik di sini diasumsikan sebagai sosok laki-laki yang sedang mengalami kerinduan yang mendalam pada seorang perempuan yang merupakan kekasihnya.

Mungkin, pada bulan Juni, tangisan itu digambarkan sebagai hujan. Kerinduan hujan diarahkan pada pohon berbunga, yang menjadi simbol kehidupan dan keindahan. Ini menunjukkan hubungan emosional yang halus antara hujan dan pohon, mencerminkan rasa kagum, cinta, atau penghormatan si aku-lirik terhadap sesuatu yang tak terjangkau.

Baca Juga: Keberanian dan Pengorbanan Demi Cinta

Pada bait kedua larik pertama, Tak ada yang lebih bijak, merujuk pada suatu sikap kebijkasanaan dalam menghadapi dan memahami kehidupan apa adanya. Larik berikutnya ada pengulangan dari hujan bulan Juni. Pengulangan ini menegaskan karakteristik hujan sebagai refleksi sifat manusia. Hujan di bulan Juni tetap menjadi metafora kesadaran aku-lirik tentang ketidakteraturan alam yang diterima tanpa penolakan.

Di arti lain, ketabahan akan diri aku-lirik, merujuk pada arti adanya kepasrahan. Dihapusnya jejak-jejak kakinya, bermakna hujan yang menghapus jejak menunjukkan upaya untuk tidak meninggalkan beban atau pengaruh yang mencolok. Ini bisa dimaknai sebagai simbol kerendahan hati dan kesadaran akan kefanaan.

Secara psikologis, ini mencerminkan rasa “melepaskan”, sebuah proses untuk tidak terikat pada masa lalu atau ego. Sedangkan dalam larik terakhir, Yang ragu-ragu di jalan itu, memiliki tafsir Rasa ragu menjadi tema yang berlawanan dengan kebijaksanaan.

Namun, hujan memilih untuk menghapus jejak keraguan tersebut. Ini menunjukkan proses internal untuk berdamai dengan ketidakpastian atau ambivalensi, yang sering menjadi bagian dari perjalanan emosional seseorang.

Dalam larik pertama bait ketiga, Tidak ada yang lebih arif, menyiratkan makna Kearifan yang dihubungkan dengan hujan bulan Juni mencerminkan tingkat kedalaman emosional yang lebih tinggi. Secara psikologis, arif berarti memahami hal-hal di luar logika, menghubungkan hati, pikiran, dan pengalaman.

Baca Juga: Rokok dan Kehidupan

Dari hujan bulan Juni, pengulangan ini tak lain hanya untuk mempertegas tema yang terkandung dalam puisi ini. dibiarkannya yang tak terucapkan, mungkin yang dimaksud dari tidak terucap adalah kerinduan si aku-lirik yang belum bisa mengungkapkan rasa rindunya kepada pasangannya.

Di sisi lain, Ketidakterucapan di sini adalah simbol dari perasaan atau pemikiran yang tidak diungkapkan secara langsung. Dalam psikologi, hal ini berkaitan dengan mekanisme sublimasi—mengalihkan emosi atau dorongan yang tidak bisa diungkapkan menjadi sesuatu yang lebih produktif atau diterima.

Larik penutup puisi ini, Diserap akar pohon bunga itu menyiratkan bahwa rasa yang dimiliki aku-lirik mungkin telah usai. Namun, dalam arti lain, Akar menjadi simbol penerimaan. Perasaan yang tak terucapkan seolah “dititipkan” kepada alam untuk diolah secara alami.

Secara psikologis, ini mencerminkan proses katarsis, di mana emosi dilepaskan secara tidak langsung melalui perantara, seperti tulisan, seni, atau hubungan dengan alam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *