Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim

Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam artikel ini akan menjelaskan tentang memilih pemimpin yang non islam. Di dalam artikel ini juga menjelaskan bahwa memilih pemimpin dari kalangan non muslim hukumnya boleh. Di dalam artikel ini  juga mendasarkan kejadian-kejadian seperti Surah Al-Maidah [5]:51 yang menjadikan memilih pemimpin dari kalangan non muslim adalah tidak diperbolehkan maka dari itu penulis menggunakan teori Double Mouvement dari Fazlur Rahman .  Dan pada akhirnya memilih pemimpin  dari kalangan non muslim adalah hal yang diperbolehkan namun dengan syarat-syarat tertentu.

Hukum Memilih Pemimpin Non Islam

Allah menciptakan Al-Qur’an agar bisa dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia karena Al-Qur’an sendiri bersifat universal. Di Al-Qur’an sendiri setiap ayatnya memiliki rahasia dan makna tersendiri untuk kemaslahatan  manusia, salah satunya hukum Allah tidak akan membuat hukum jika hukum tersebut jika tidak memiliki nilai kemaslahatan dan kebaikan bagi hambanya. Seperti contoh pada surah Al-Maidah [5]:51 di dalam ayat tersebut menegaskan bahwa umat muslim dilarang memilih pemimpin dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Di dalam ayat menegaskan bahwa umat muslim harus memilih pemimpin umat muslim.

Bacaan Lainnya

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.’’

Sebagaimana penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa ulama yang terbagi menjadi dua pemikiran yang berbeda, ada ulama yang melarang (tidak memperbolehkan) yang mengartikan bahwa memilih pemimpin non muslim adalah hal yang tidak diperbolehkan dan  pendapat ini merupakan pendapat dari mayoritas ulama, meskipun ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa memilih ulama dari kalangan non muslim merupakan hal yang diperbolehkan.

Adapun beberapa ulama yang mengharamkan memilih pemimpin non-muslim diantranya: Alūsī, Ibn Kaṡīr, al-Ṣābūnī, al-Zamakhsyarī, al-Qurṭubī, Wahbah Zuhailī, ‘Abd al-Wahāb Khallāf, Ḥasan al-Bannā dan tokoh lainnya. 13 Mereka berargumen dengan Surah Al-Mā’idah [5]:51; 57; Āli ‘Imrān [3]:28; 100; 118; Al-Nisā’ [4]:141; Al-Mumtaḥanah [60]:1; Al-Taubah [9]:8; 71. Kelompok ulama yang membolehkan yakni ‘Abd Allāh Aḥmad al-Na‘īm, Muḥammad Ṭāhā, Asghar Ali Enginer, Ariq al-Biṣrī, serta Muḥammad Sa’īd alAṣmawi. Mereka sering dikategorikan sebagai ulama liberal. Pendapat merekalah yang menjadi dasar bolehnya memilih pemimpin yang non-muslim

Di Indonesia sendiri memiliki dua organisasi Islam terbesar yaitu diantaranya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam menanggapi isu tentang kepemimpinan non muslim NU menyikapi bahwa memberikan kekuasaan kepada non muslim adalah hal yang tidak diperbolehkan tetapi dari Golongan muda yang berada di organisasi Nahdlatul Ulama atau biasa disebut Ansor mereka malah melegalkan atau memperbolehkan hal tersebut dengan alasan kesamaan hak.

Di sisi lain seorang tokoh intelektual dari Muhammadiyah yaitu Buya Hamka. Buya Hamka sendiri menegaskan bahwa memilih pemimpin harus lebih spesifik terlebih dalam pemilihan pemimpin yang non muslim menurut pandangan Buya Hamka prinsip utama dalam memilih pemimpin yaitu dengan musyawarah kesamaan, kebebasan, amanah, keadilan, perlindungan, dan yang terakhir yaitu hak asasi manusia. Buya Hamka sendiri mengatakan secara umum bahwa memilih pemimpin non muslim adalah hal yang tidak diperbolehkan atau terlarang. Walaupun melarang memilih pemimpin dari kalangan non muslim Buya Hamka tidak melarang untuk seorang muslim memilih non muslim.

Teori Double Movement Fazlur Rahman

Teori ini merupakan kombinasi antara dua penalaran, yaitu induksi dan deduksi. Penalaran pertama, dimulai dari hal khusus (partikular) menuju hal umum (general), kemudian penalaran kedua, dari hal yang bersifat  umum menuju hal khusus, sehingga dikenalah dua gerakan yang disebut Double Movement. Ada beberapa yang berpendapat bahwa Double Movement merupakan sebuah metode dengan menggunakan pendekatan sosio-historis dan teori ini memiliki dua gerakan.

Pertama, yaitu gerakan mekanisme dengan cara memahami arti dan makna dari teks sekaligus memahami situasi maupun kondisi atau problem historis yang menyebabkan teks itu ada. Sedangkan gerakan yang kedua, setelah mencari pesan inti atau tujuan (pesan moral) yaitu yang mendasari teks itu diturunkan, selanjutnya menarik pesan-pesan tersenbut ke konteks kekinian. Pada akhirnya maksud Al-Qur’an yang global tersebut dapat diterapkan kepada konteks kekinian.

Pengaplikasian Teori Double Movent Terhadap Nemilih Pemimpin Non Muslim.

Hal pertama: yaitu melihat konteks ketika hukum pelarangan memilih pemimpin non-muslim itu disyariatkan dan mencari nilai universal dari pelarangan (ketidakbolehan) memilih pemimpin non-muslim yang berdasarkan pada surah Al-Mā’idah [5]:51.

Quraish Shihab memulai penafsiran ayat ini dengan menyebutkan sifat orang Yahudi dan Nasrani pada masa itu itu dengan lebih mengikuti hukum jahiliyah dari pada hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT, yaitu yang termaktub dalam Taurat dan Injil. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan jika sifat mereka seperti itu maka jangan jadikan mereka sebagai auliyā’. Quraish Shihab menafsirkan bahwa kata auliyā’ yang dimaksudkan dalam ayat ini merupakan teman dekat bukan pemimpin. Memang logis larangan ini, menjadikan mereka sebagai auliyā’ – karena mereka mempunyai visi yang sama untuk merendahkan agama Islam, maka ketika mereka dijadikan sebagai auliyā’, maka mereka akan saling menolong agar bisa menghancurkan islam.

Dari pernyataan Quraish Shihab tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kaum yahudi dan Nasrani pada masa itu lebih memilih hukum jahiliyah daripada hukum yang turun dari langit atau dari Allah SWT.

Pada tafsir Al-Amṭāl, Makārim Syirāzī mengatakan sebab turunnya ayat ini. Ayat ini menceritakan tentang Ubadah bin Ṣāmit yang menghampiri Nabi SAW setelah perang Badar dan dia mengatakan bahwa orang Yahudi yang telah mengikat janji bersama kaum muslim ingin memutuskan perjanjian dan persahabatan mereka, hal ini disertai mereka dengan menggertak kaum muslim dengan perang. Dan ‘Abd Allāh bin ‘Ubai malah mengharuskan agar mempererat hubungan dengan Yahudi. Dia beralasan dengan ditakutkan banyak masalah ketika hubungan dengan Yahudi terputus dan dia mengklaim bahwa dia masih memerlukan Yahudi.

Baca Juga: Shindy Paul Soerjomoelyono dan Penistaan Agama: Analisis Mendalam Perspektif Fazlur Rahman

Dari kedua tafsiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelarangan menjadikan Yahudi dan Nasrasi sebagai auliyā’ meraka hanya mengikuti hawa nafsu mereka dalam menentukan hukum. Mereka tidak memutuskan dengan hukum Allah. Hal tersebut dapat dipahami dari tafsiran Quraish Shihab. Selain itu, pelarangan ini bukan hukum yang lepas dari konteks ayat ini turun. Dari riwayat yang dinukil olah Makārim Syirāzī, dapat disimpulkan bahwa pelarangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai auliyā’ ketika mereka membuat konspirasi terhadap kaum muslim.

Kesimpulan

Dari ungkapan penulis di atas , penulis menyimpulkan bahwa pelarangan memilih pemimpin non-muslim dalam ayat ini dilatarbelakangi orang Yahudi dan Nasrani lebih memilih konstitusi yang diciptakan oleh hawa nafsunya, dan mereka saling berkonspirasi untuk menghancurkan Islam. Dengan menggunakan teori Double Movement dari Fazlur Rahman, maka dapat kita simpulkan bahwa memilih pemimpin non-muslim dalam konteks hari ini adalah boleh selama dia mentaati konstitusi yang ada dan tidak membuat konspirasi untuk menjatuhkan Islam.


Daftar pustaka

  • Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlu Rahman.
  • Yogyakarta: UII Press, 2000.
  • Amal, Taufiq Adnan. Islam dam Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1992.
  • Askan, Fatimah. “Kepemimpinan Non-Muslim dalam Wacana Tafsir (Studi
  • Analisis Makna Kata Auliyā dalam al-Qur’an).” Jurnal Al-Fanar: Jurnal
  • Ilmu al-Qur’an dan Tafsir 2, no. 1 (2019).
  • Esposito, John. Pakistan: Pencarian Identitas Islam, dalam Islam dan Perubahan
  • Sosial Politik di Negara Berkembang, terjemahan Wardah Hafiz.
  • Yogyakrta: PLP2M, 1985.
  • Al-Faruq, Imron, dan Suharjianto. “Kepemimpinan Non-Muslim dalam Tafsir al
  • Azhar Karya Buya Hamka.” Jurnal Suhuf 31, no. 1 (2019).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *