Kasus penyelundupan timah ilegal seberat 9,25 ton di Mentok, Bangka Barat, yang telah memasuki tahap kedua sebagaimana dilaporkan Antara News, kembali menegaskan betapa rumit dan sistemiknya persoalan penegakan hukum dalam industri pertambangan di Bangka Belitung.
Penyerahan tersangka dan barang bukti oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung kepada Kejaksaan memang menandai proses hukum yang berjalan formal. Namun, dari perspektif hukum acara pidana, sejumlah persoalan fundamental tetap perlu dicermati agar proses penegakan hukum tidak saja cepat, melainkan juga sahih, tertib, dan berkualitas.
Sejak tahap awal, penyidik kepolisian semestinya bekerja dengan merujuk secara ketat pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan apabila terdapat “bukti permulaan yang cukup”.
Ketentuan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fondasi legalitas seluruh proses penyidikan. Dalam perkara timah ilegal ini, bukti awal tampak jelas melalui temuan fisik berupa blok timah dalam jumlah besar di dalam truk yang dihentikan aparat.
Namun, kejelasan bukti fisik tidak otomatis menjamin keabsahan penangkapan. Penyidik tetap wajib melengkapi prosedur: membuat berita acara, mencatat waktu dan lokasi secara akurat, menghadirkan saksi, dan memastikan dokumentasi yang konsisten. Kelalaian administratif dalam tahap ini kerap menjadi titik lemah yang dapat dimanfaatkan pihak pembela.
Prosedur penyitaan barang bukti merupakan titik kritis lain yang menuntut ketelitian. KUHAP menetapkan penyitaan sebagai tindakan paksa yang hanya sah bila dilaksanakan melalui mekanisme yang ketat mulai dari pembuatan berita acara penyitaan hingga pemberitahuan kepada pihak berwenang.
Dalam kasus ini, barang bukti berupa 9,25 ton timah disimpan di gudang unit metalurgi PT Timah di Mentok. Penitipan barang bukti pada pihak tertentu sejatinya diperbolehkan. Namun, penyidik wajib memastikan seluruh rantai bukti (chain of custody) dicatat secara rinci: kondisi barang, perubahan lokasi, nama petugas yang menangani, serta daftar saksi.
Ketidakcermatan dalam rantai bukti dapat memicu persoalan serius di pengadilan, terlebih ketika komoditas yang disita memiliki nilai ekonomi tinggi dan berisiko menjadi objek sengketa.
Penahanan tersangka juga tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi prinsip legalitas yang diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Penyidik dan penuntut dapat menahan seseorang apabila terdapat dugaan kuat bahwa tersangka berpotensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan pidana.
Namun, wewenang ini bukan ruang abu-abu yang boleh digunakan secara sewenang-wenang. Surat perintah penahanan harus diterbitkan secara sah, alasan penahanan harus dijelaskan, dan keluarga tersangka wajib diberi pemberitahuan.
Laporan Antara News menyebut bahwa dua tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan Negara Mentok. Namun, dari perspektif akademik, penting memastikan seluruh hak prosedural mereka dihormati agar penahanan tidak diuji dan dijatuhkan dalam sidang praperadilan karena cacat formil.
Jika ditelaah lebih jauh, perkara ini memuat sejumlah potensi risiko prosedural. Barang bukti yang ditangani secara tidak hati-hati atau dokumentasi yang tidak lengkap dapat menggugurkan kekuatan pembuktian di persidangan. Kesalahan dalam penyusunan berita acara penangkapan atau penyitaan juga dapat menjadi dasar pembelaan untuk melemahkan dakwaan.
Pengalaman penanganan kasus tambang ilegal sebelumnya di Bangka Belitung menunjukkan bahwa celah administratif kerap menjadi pintu masuk pembatalan proses hukum. Situasi ini menunjukkan pentingnya penguatan kapasitas aparat dalam penegakan hukum sektor pertambangan yang memiliki kompleksitas tersendiri.
Meski demikian, perkembangan terkini tetap memberi harapan. Pelimpahan tahap kedua menunjukkan koordinasi yang lebih tertata antara kepolisian dan kejaksaan. Jika berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) dan pengadilan mampu menjatuhkan putusan yang adil, kasus ini dapat menjadi preseden bahwa negara tidak lagi mentolerir praktik penyelundupan timah yang selama bertahun-tahun berlangsung masif. Bagi Bangka Belitung, wilayah yang sejak lama terjebak dalam lingkaran peredaran mineral ilegal dan kerusakan lingkungan, penegakan hukum yang konsisten merupakan langkah strategis yang menentukan.
Namun, momentum penegakan hukum ini semestinya tidak berhenti pada pemidanaan tersangka. Dari perspektif reformasi sistemik, perkara ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki proses penegakan hukum secara menyeluruh. Aparat perlu meningkatkan kualitas penyusunan berita acara, memperkuat manajemen barang bukti berharga, serta memastikan seluruh tindakan paksa mengikuti prinsip legalitas yang ketat.
Transparansi kepada publik juga penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Kepolisian dan kejaksaan perlu mampu menyampaikan informasi yang tidak mengganggu proses penyidikan, tetapi cukup untuk menegaskan komitmen negara dalam memberantas tambang ilegal yang merusak lingkungan dan merugikan negara.
Pada akhirnya, kasus pengangkutan 9,25 ton timah ilegal ini bukan sekadar perkara kriminal dalam arti teknis. Ini adalah ujian bagi keteguhan negara dalam menegakkan hukum secara adil dan konsisten di sektor pertambangan yang sarat kepentingan.
KUHAP menyediakan pedoman yang jelas dari penangkapan, penyitaan, penahanan, hingga pelimpahan perkara namun implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh kelemahan struktural dan ketidakteraturan administrasi.
Proses hukum dalam perkara ini seharusnya dipahami tidak hanya sebagai respons represif, tetapi juga sebagai peluang memperbaiki sistem, memperkuat integritas aparat, dan membangun preseden penegakan hukum yang lebih transparan, akuntabel, dan tidak mudah digugurkan karena kesalahan prosedural. Bangka Belitung membutuhkan penegakan hukum yang bukan hanya tegas, tetapi juga tertib dan dapat dipertanggungjawabkan.





