Keterlanjangan Cinta

Ilustrasi foto/freepik
Ilustrasi foto/freepik

Menurut Rene Wellek, sastra adalah karya yang dibuat dari bahasa, namun tidak sekadar sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sastra menggunakan bahasa yang kreatif untuk menghasilkan nilai estetik dan makna yang mendalam. Made Suarta menyebutkan bahwa sastra merupakan karangan imajinatif yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang indah.

Secara garis besar, puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif serta disusun dengan memusatkan semua kekuatan bahasa melalui struktur fisik dan batin. Altenbern (dalam Pradopo, 2000) menyatakan bahwa puisi adalah pemadatan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bentuk berirama dan berdentum.

Bacaan Lainnya

Setelah penjelasan singkat tentang puisi, saya akan mengapresiasi puisi “Sajak-Sajak Kecil Tentang Cinta” karya Sapardi Djoko Damono, yang dimuat dalam kumpulan puisi Ayat-Ayat Api (2000). Sapardi Djoko Damono, penyair kelahiran Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1940, dikenal sebagai sastrawan yang menggunakan kata-kata sederhana namun penuh makna. Hal ini dapat dilihat dalam puisi berikut:

Sajak-Sajak Kecil Tentang Cinta
Karya Sapardi Djoko Damono

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjadi aku

Puisi “Sajak-Sajak Kecil Tentang Cinta” karya Sapardi Djoko Damono memiliki kekuatan ekspresif yang khas, dengan penggunaan metafora sederhana tetapi kaya makna. Menggunakan pendekatan psikologi, apresiasi puisi ini dapat dilakukan melalui analisis emosi, hubungan, dan makna simbolik dalam setiap lariknya. Namun, perlu ditekankan, bahwa dalam analisis ini, saya akan menggunakan pendekatan psikologi karya yang memang menitikberatkan pendekatan ini pada karya itu sendiri.

Baca Juga: Dusta Cempaka

Puisi ini menyentuh konsep cinta yang universal tetapi juga sangat personal. Melalui larik-lariknya, aku-lirik seolah-olah ingin mengungkapkan: Mencintai seseorang atau sesuatu bukanlah tindakan pasif. Cinta digambarkan sebagai transformasi diri yang menuntut seseorang untuk dapat berjuang dengan penuh hati.

Hal itu dapat kita lihat dalam larik pembuka puisi ini, “Mencintai angin harus menjadi siut”, adalah bentuk seseorang yang jatuh cinta kepada seseorang, maka, ia harus berusaha menjadi apa yang dibutuhkan dalam hubungan itu.

Kata “siut merupakan kata sifat dari angin. Angin di sini melambangkan sesuatu yang tak kasat mata dan bebas. Kata “suit” adalah suara angin, yang mencerminkan kesesuaian dengan angin. Secara psikologis, ini mencerminkan kebutuhan untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan sifat pasangan tanpa mencoba mengubah mereka.

Mencintai air harus menjadi ricik”, Kata “air” sering dikaitkan dengan ketenangan dan fleksibilitas. Dalam mencintai, seseorang harus mampu mengikuti arus dan beradaptasi seperti air yang selalu menemukan jalannya.

Hal ini relevan dengan teori psikologi cinta, yang menekankan pentingnya empati dan keluwesan dalam hubungan. Mencintai gunung harus menjadi terjal, pada larik ketiga ini, “gunung” melambangkan tantangan.

Mencintai gunung berarti menerima kesulitan dan kerja keras. Secara psikologis, aku-lirik ingin menunjukkan bahwa cinta memerlukan ketahanan emosional dan komitmen untuk menghadapi rintangan yang ada.

Jika digambarkan, terjal adalah sebuah jalan yang menurun. Artinya, sesulit apapun jalan yang akan dilewati, jika memang sudah mencintai seseorang, maka, ia harus siap menghadapi jalan yang sekalipun sulit.

Makna Simbolik Cinta dan Identitas

Pada larik terakhir, “Mencintaimu harus menjadi aku”, aku-lirik ingin menegaskan bahwa cinta sejati bukanlah kehilangan diri, melainkan transformasi menjadi versi terbaik diri sendiri. Jika secara logika, seseorang untuk menjadi orang lain adalah hal mustahil.

Baca Juga: Sepucuk Harapan Mohammad Yamin

Terkadang, dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kita berusaha menjadi orang lain terkadang hasilnya tidak akan sama. Maka, secara garis besar dalam larik penutup ini, si aku-lirik ingin menegaskan, jika ia berpisah dengan pasangannya, maka, orang yang pantas untuk menjadi penggantinya adalah dirinya sendiri. Hal itu diimplisitkan dalam larik terakhir ini.

Puisi ini menggambarkan cinta sebagai perjalanan psikologis yang mendalam menuntut transformasi diri tanpa kehilangan identitas. Pendekatan psikologi membantu kita memahami bahwa cinta bukan hanya perasaan, tetapi juga proses aktif yang melibatkan pengorbanan, empati, dan pertumbuhan pribadi. Puisi ini mengajarkan bahwa kisah aku-lirik di sini seolah-olah ingin menggambarkan cinta yang egois.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *