Dalam sistem demokrasi, hukum tata negara merupakan pilar utama yang mengatur relasi antara kekuasaan negara dan rakyat. Ia menjadi penjamin bahwa roda pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, serta supremasi hukum.
Namun dalam beberapa waktu terakhir, arah perjalanan hukum tata negara tampak mulai menyimpang dari substansi idealnya. Hukum yang seharusnya menjadi rambu, kini justru terlihat digunakan sebagai alat pembenar bagi kepentingan politik segelintir elite kekuasaan.
Fenomena ini tergambar jelas dalam berbagai dinamika ketatanegaraan yang terjadi belakangan. Salah satu contoh yang menyita perhatian publik adalah keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pelonggaran batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut menuai kritik keras karena dianggap kental dengan konflik kepentingan, terutama menyangkut keterlibatan hakim yang memiliki kedekatan personal dengan pihak yang diuntungkan.
Situasi ini mengguncang kepercayaan publik terhadap netralitas dan integritas Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga marwah konstitusi.
Tak hanya itu, proses amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang berlangsung tanpa partisipasi publik yang memadai turut memperkeruh wajah demokrasi kita. Konstitusi sejatinya adalah kontrak sosial antara negara dan warganya. Maka ketika ia diubah secara sepihak dan tanpa keterlibatan rakyat, hal itu dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap esensi demokrasi partisipatif.
Jika kondisi ini terus berlanjut, yang terjadi bukan sekadar kemerosotan institusi hukum, melainkan juga keruntuhan legitimasi moral dari sistem pemerintahan itu sendiri. Hukum, yang mestinya menjadi instrumen kontrol sosial dan pencipta tatanan kehidupan berbangsa, justru berbalik menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini amat berbahaya, karena dapat membuka ruang bagi otoritarianisme berkedok demokrasi konstitusional.
Kondisi semacam ini seharusnya menjadi panggilan moral bagi semua elemen bangsa—terutama kalangan muda, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil—untuk tidak tinggal diam. Membiarkan hukum dijalankan secara serampangan dan tanpa akuntabilitas sama artinya dengan menyerahkan masa depan demokrasi kepada kehendak segelintir orang.
Oleh karena itu, perlu ada dorongan kuat dari berbagai pihak untuk mengembalikan ruh dan fungsionalitas hukum tata negara sebagaimana mestinya.
Peran media massa sebagai pengawal demokrasi sangat vital dalam menyuarakan berbagai penyimpangan hukum yang terjadi. Lembaga pendidikan juga memegang tanggung jawab untuk menanamkan kesadaran hukum sejak dini, membentuk generasi yang kritis serta mampu menilai dengan jernih praktik kekuasaan.
Tak kalah penting, organisasi masyarakat dan individu memiliki kontribusi besar dalam mendorong transparansi serta menuntut pertanggungjawaban dari para pemegang kekuasaan.
Sebab jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan masuk dalam fase krisis konstitusional yang lebih dalam dan sulit untuk dipulihkan. Oleh karena itu, menjaga agar hukum tetap bertata bukan sekadar tugas profesi hukum atau pengambil kebijakan, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.
Demokrasi hanya akan hidup dalam tatanan hukum yang adil, mandiri, dan merdeka dari intervensi politik jangka pendek. Tanpa itu, demokrasi hanyalah formalitas yang kehilangan makna sejatinya.





