Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan teknologi digital sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aktivitas, termasuk dalam dunia pendidikan dan komunikasi. Kemajuan teknologi, khususnya kehadiran media sosial, telah memberikan ruang interaksi yang luas bagi masyarakat, terutama kalangan remaja.
Tak hanya sebagai sarana komunikasi, media digital kini menjadi ruang bebas untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, hingga membentuk identitas diri.
Remaja sebagai kelompok usia yang sedang mengalami pencarian jati diri menjadi pengguna paling aktif dari berbagai platform media sosial. Aplikasi seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan YouTube bukan hanya menjadi tempat hiburan, tetapi juga arena untuk menunjukkan eksistensi diri.
Kemudahan akses dan kebebasan berekspresi yang ditawarkan media digital memberikan remaja kesempatan luas untuk membangun jejaring sosial. Namun, di balik itu, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi, yakni dampak terhadap pembentukan dan perkembangan pendidikan karakter.
Tanpa disadari, keterlibatan remaja dalam media digital telah mendorong mereka memasuki dimensi baru kehidupan sosial yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai karakter. Fitur seperti kolom komentar, misalnya, kerap digunakan sebagai wadah untuk meluapkan emosi secara bebas.
Tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam diskusi provokatif, saling menyerang, bahkan melakukan perundungan daring. Kebebasan virtual yang tidak disertai dengan pemahaman etika digital, dapat memicu hilangnya kontrol diri dan menurunnya sikap saling menghargai.
Penelitian Mulyono (2021) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan pada remaja cenderung mengurangi kemampuan mereka dalam berinteraksi secara nyata. Remaja lebih mudah terjebak pada upaya mencari validasi dan mempertahankan opini dalam ruang digital, dibandingkan membangun hubungan sosial yang sehat secara langsung.
Akibatnya, empati—sebagai salah satu elemen penting dalam pendidikan karakter—menjadi tergerus perlahan. Remaja mulai kehilangan kemampuan untuk memahami perspektif orang lain dan menjadi lebih individualistis.
Dalam konteks ini, menjadi sangat penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses pendampingan penggunaan media digital oleh remaja. Pembatasan penggunaan media sosial bukanlah bentuk pelarangan total, melainkan sebagai langkah preventif agar remaja mampu menggunakan teknologi secara lebih bijak.
Melalui pengawasan yang disertai dialog terbuka, remaja dapat diarahkan untuk memanfaatkan media digital sebagai sarana pengembangan diri tanpa mengorbankan nilai karakter.
Selain itu, sekolah sebagai institusi pendidikan juga memiliki peran strategis dalam menanamkan literasi digital dan nilai karakter secara seimbang. Kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan etika dalam dunia maya perlu dikembangkan. Remaja perlu dibekali dengan keterampilan untuk memilah informasi, berpikir kritis, dan berperilaku sopan dalam lingkungan digital.
Pendidikan karakter di era digital menuntut pendekatan yang adaptif. Tidak cukup hanya menekankan disiplin atau nilai moral secara konvensional, namun juga harus memperhatikan bagaimana karakter itu diterapkan dalam kehidupan virtual. Dengan demikian, kebebasan berekspresi di media digital tetap bisa dinikmati tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial dan nilai-nilai luhur.
Upaya ini tentu membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. Ketika semua elemen masyarakat menyadari pentingnya menjaga kualitas interaksi remaja di ruang digital, maka pendidikan karakter tidak akan tercerabut oleh derasnya arus kebebasan maya. Sebaliknya, media digital dapat dijadikan sebagai alat untuk menanamkan dan memperkuat karakter, bukan meruntuhkannya.





