Dalam kancah politik global, seorang kepala negara adalah lambang kedaulatan bangsanya. Untuk memastikan mereka dapat menjalankan tugas tanpa gangguan, hukum internasional tradisional menganugerahkan apa yang disebut Imunitas Kepala Negara. Secara sederhana, ini adalah perisai hukum yang melindungi mereka dari tuntutan pengadilan negara lain, terutama saat mereka masih menjabat.
Namun, bagaimana jika lambang kedaulatan ini berubah menjadi arsitek pembunuhan massal, genosida, atau kejahatan perang? Apakah keadilan bagi korban harus dikorbankan demi stabilitas hubungan internasional? Perkembangan hukum pidana internasional, terutama pasca-Perang Dingin, secara tegas mengatakan Tidak.
Ada suatu batas, sebuah titik balik, di mana kejahatan yang dilakukan begitu serius sehingga tidak ada jabatan resmi bahkan yang tertinggi sekalipun dapat menjadi tameng. Prinsip ini berakar kuat sejak Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, dan kini dihidupkan kembali oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag.
Salah satu kasus paling ikonik dan paling kontroversial yang menguji batas-batas imunitas ini adalah kasus mantan Presiden Sudan, Omar Hassan Ahmad al-Bashir. Kisah ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang perjuangan getir antara kedaulatan nasional dan keadilan universal.
Studi Kasus Ikonik: Omar al-Bashir dan Darah Darfur
Kasus Omar al-Bashir adalah pengecualian yang paling ekstrem dalam hukum internasional: seorang kepala negara yang sedang menjabat didakwa melakukan kejahatan paling serius, termasuk genosida.
Kejahatan yang dituduhkan kepada Al-Bashir berpusat pada konflik brutal di wilayah Darfur, Sudan, yang dimulai pada tahun 2003. Konflik ini bermula dari pemberontakan kelompok etnis yang menuntut pembagian kekayaan dan kekuasaan yang lebih adil dari pemerintah pusat yang didominasi Arab di Khartoum.
Alih-alih mencari solusi politik, pemerintah Sudan di bawah pimpinan Al-Bashir dituduh melancarkan kampanye pembalasan yang sangat kejam. Strategi intinya adalah menggunakan milisi pro-pemerintah yang dikenal sebagai Janjaweed (yang secara kasar berarti “setan berkuda”).
Menurut dakwaan dari Jaksa ICC, Janjaweed didukung, dipersenjatai, dan dibiayai oleh negara untuk melakukan serangan sistematis terhadap kelompok etnis non-Arab (Fur, Masalit, dan Zaghawa). Tujuannya, menurut Jaksa, adalah genosida—niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok-kelompok etnis tersebut. Aksi Janjaweed sangat mengerikan:
- Pembunuhan Massal: Ratusan ribu warga sipil tewas.
- Pembersihan Etnis: Jutaan orang dipaksa meninggalkan rumah mereka, menciptakan krisis pengungsi besar.
- Kekerasan Seksual Sistematis: Pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang, alat teror, dan sarana untuk melukai kehormatan kelompok.
- Penghancuran Mata Pencaharian: Desa dibakar, sumur diracuni, dan tanaman dihancurkan.
- Intervensi ICC dan Surat Perintah Penangkapan
Karena Dewan Keamanan PBB menilai situasi Darfur sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, pada tahun 2005 mereka mengeluarkan Resolusi 1593, yang secara khusus merujuk kasus Darfur ke ICC. Rujukan ini sangat penting karena Sudan bukanlah anggota (Negara Pihak) Statuta Roma yang mendirikan ICC.
Setelah penyelidikan mendalam, Jaksa ICC Luis Moreno Ocampo mengajukan dakwaan terhadap AlBashir. Pada 4 Maret 2009, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan pertama terhadap Al-Bashir untuk kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Setahun kemudian, surat perintah kedua dikeluarkan dengan dakwaan yang paling berat yaitu genosida.
Surat perintah ini menciptakan preseden historis. Untuk pertama kalinya, sebuah mahkamah internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap seorang kepala negara yang masih aktif memerintah.
Dasar Hukum Pengesampingan Imunitas
Tindakan ICC didasarkan pada Pasal 27 Statuta Roma, yang secara eksplisit menyatakan:
“Statuta ini akan berlaku sama untuk semua orang tanpa memandang kapasitas resmi. Secara khusus, kapasitas resmi sebagai Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota pemerintahan atau parlemen, perwakilan terpilih, atau pejabat pemerintah tidak akan, dalam keadaan apa pun, membebaskan seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah Statuta ini, dan juga tidak akan, dengan sendirinya, merupakan alasan untuk pengurangan hukuman”.
Bagi ICC, kejahatan yang masuk yurisdiksinya (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi) bersifat universal dan sangat serius (pelanggaran jus cogens), sehingga mengesampingkan imunitas prosedural yang diberikan oleh hukum kebiasaan internasional. Meskipun surat perintah telah dikeluarkan, penangkapan Al-Bashir terbukti sangat sulit.
- Imunitas vs. Statuta: Al-Bashir dan pendukungnya berargumen bahwa sebagai kepala negara yang masih menjabat dari negara non-anggota Statuta Roma (Sudan), ia tetap dilindungi oleh imunitas tradisional berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
- Kepatuhan Negara Pihak: Ketika Al-Bashir melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama ke negara-negara anggota ICC (seperti Afrika Selatan), muncul kewajiban bagi negara tersebut untuk menangkapnya berdasarkan Statuta Roma. Beberapa negara mematuhinya, tetapi banyak yang lain—terutama di Uni Afrika—menolak, mengutip imunitas sebagai kepala negara, dan bahkan menuduh ICC bias terhadap pemimpin Afrika. Afrika Selatan, misalnya, secara kontroversial membiarkan Al-Bashir meninggalkan negaranya pada tahun 2015.
- Kudeta dan Titik Balik: Al-Bashir berhasil menghindari penangkapan selama satu dekade penuh hingga ia digulingkan oleh kudeta militer pada April 2019. Setelah penggulingannya, statusnya berubah dari Kepala Negara Aktif menjadi Mantan Kepala Negara, yang mana imunitas pribadinya secara umum sudah berakhir.
Meskipun penangkapan berjalan lambat, titik akhirnya semakin mendekat. Pada tahun 2020, pemerintah transisi Sudan sepakat untuk bekerja sama dengan ICC, membuka jalan bagi penyerahan Al-Bashir.
Kasus Al-Bashir adalah monumen bagi pergeseran paradigma dalam hukum internasional. Kasus ini menegaskan bahwa:
- Kapasitas Resmi Bukan Tameng: Di hadapan pengadilan pidana internasional, jabatan tertinggi tidak memberikan kekebalan.
- Kepentingan Keadilan Lebih Tinggi: Penegakan keadilan untuk kejahatan internasional yang paling serius mengungguli prinsip kedaulatan tradisional.
Kasus ini menetapkan standar yang jelas bahwa pemimpin yang merencanakan atau mengawasi kekejaman massal tidak akan pernah benar-benar aman dari tuntutan hukum, bahkan ketika mereka masih duduk di kursi kekuasaan. Ini adalah bukti bahwa perisai imunitas, betapapun kuatnya, akan selalu rapuh di hadapan kejahatan yang mengancam nurani umat manusia.
Kesimpulan
Kasus Omar al-Bashir merupakan ujian terberat dan paling simbolis bagi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan prinsip-prinsip keadilan global. Keputusan ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Al-Bashir saat ia masih menjabat sebagai Kepala Negara dari negara non-anggota (Sudan) dengan tuduhan genosida, secara definitif menetapkan bahwa imunitas pribadi (ratione personae) Kepala Negara tidak berlaku di hadapan pengadilan pidana internasional, terutama untuk kejahatan inti yang dirujuk oleh Dewan Keamanan PBB.
Landasan hukumnya adalah Pasal 27 Statuta Roma, yang memastikan bahwa jabatan resmi bukanlah perisai terhadap pertanggungjawaban pidana atas kejahatan paling serius. Meskipun implementasi penangkapan Al-Bashir menghadapi tantangan diplomatik dan politik yang besar—mencerminkan ketegangan antara kedaulatan nasional tradisional dan keadilan universal—kasus ini berhasil mengakhiri anggapan lama bahwa kebal hukum adalah hak prerogatif pemimpin negara.
Warisan Al-Bashir adalah penegasan kembali, bahwa tidak ada seorang pun, tidak peduli seberapa tinggi kedudukannya, yang dapat lolos dari jerat hukum ketika mereka menjadi arsitek di balik kekejaman massal, menandai kemenangan bagi para korban Darfur dan bagi upaya global untuk memberantas impunitas selamanya.





