“Kok Kerjanya Gitu? Perspektif Gen Z di Dunia Kerja”

Ilustrasi Gen Z bukan takut kerja keras, mereka hanya tidak ingin kehilangan hidup demi pekerjaan. (GG)
Ilustrasi Gen Z bukan takut kerja keras, mereka hanya tidak ingin kehilangan hidup demi pekerjaan. (GG)

Generasi Z sering kali mendapat label miring di dunia kerja: malas, gampang lelah, atau terlalu idealis. Namun, benarkah stereotip itu? Justru sebaliknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa Gen Z memiliki potensi keterikatan kerja (work engagement) yang tinggi, asal kebutuhan psikologis mereka terpenuhi. Kebutuhan ini terutama menyangkut keseimbangan hidup (work-life balance) dan rasa keadilan dalam organisasi.

Sebuah studi oleh Aysila dan Kusmaryani (2023) yang melibatkan 286 pekerja Gen Z di Indonesia menemukan bahwa semakin baik persepsi Gen Z terhadap kualitas hidup kerja khususnya dalam dimensi total life space (keseimbangan hidup secara menyeluruh) dan constitutionalism (merasa diperlakukan secara adil) semakin tinggi pula tingkat semangat, dedikasi, dan fokus mereka dalam bekerja.

Bacaan Lainnya

Apa Itu Work Engagement?

Work engagement bukan sekadar “rajin kerja” atau “semangat sesaat.” Menurut Bakker et al. (2023), keterikatan kerja adalah kondisi psikologis positif yang terdiri dari tiga elemen utama:

  1. Vigor: energi dan semangat tinggi saat bekerja.
  2. Dedication: rasa memiliki dan keterlibatan emosional terhadap pekerjaan.
  3. Absorption: tenggelam dalam pekerjaan dengan rasa menikmati.

Ketiga dimensi ini menjelaskan bahwa keterikatan kerja bukan sekadar kehadiran fisik di kantor, melainkan hubungan emosional dan kognitif yang mendalam dengan pekerjaan. Bahkan, individu yang engaged cenderung lebih tahan terhadap stres, lebih produktif, dan menunjukkan performa yang lebih baik (Bakker & Demerouti, 2023).

Sayangnya, istilah ini masih sering disalahartikan sebagai bentuk “loyalitas tanpa syarat” atau “kerja keras tanpa batas.” Padahal, keterikatan kerja justru menuntut adanya hubungan timbal balik yang sehat antara pekerja dan organisasi. Ketika organisasi memberikan ruang untuk keadilan, fleksibilitas, dan keseimbangan hidup, maka para karyawan akan merespons dengan komitmen dan energi positif.

Bagi Gen Z, Work-Life Balance Adalah Kebutuhan Dasar

Bagi generasi kami, kerja tidak semata-mata tentang berapa jam yang dihabiskan di depan layar komputer atau duduk di meja kantor. Kami memandang kerja sebagai bagian dari hidup, bukan keseluruhan hidup.

Kesehatan mental, hubungan sosial, dan ruang untuk mengembangkan diri adalah aspek yang tak bisa ditawar. Deloitte Global (2023) mencatat bahwa sepertiga Gen Z memilih tempat kerja berdasarkan fleksibilitas dan keseimbangan hidup, bukan hanya soal gaji.

Jika perusahaan tidak menyediakan ruang untuk hal-hal tersebut, maka semangat kerja kami bisa merosot. Bukan karena kami tidak mampu bekerja keras, melainkan karena kami tidak melihat alasan kuat untuk bertahan.

Kami bukan takut terhadap kerja keras, kami hanya tidak ingin kehilangan hidup demi pekerjaan. Menjaga waktu untuk keluarga, merawat kesehatan mental, dan memiliki ruang pribadi merupakan strategi kami untuk memastikan semangat kerja tetap terjaga dalam jangka panjang.

Dalam studi lanjutan oleh Aysila (2025), terlihat jelas bahwa saat organisasi menghargai kebutuhan dasar ini, Gen Z justru menunjukkan tingkat keterikatan kerja yang tinggi dan konsisten.

Apa Implikasinya untuk Dunia Kerja?

Bagi para profesional HR dan pemimpin organisasi, temuan ini membawa pesan penting: jika ingin mengoptimalkan kontribusi Gen Z, maka mulailah menciptakan sistem kerja yang lebih manusiawi. Ini bisa dimulai dengan:

  • menerapkan jam kerja fleksibel,
  • memberikan opsi kerja hybrid atau remote,
  • menyediakan dukungan kesehatan mental, dan
  • membangun budaya organisasi yang sehat secara psikologis.

Di sisi lain, bagi kami sebagai generasi baru di dunia kerja, penting untuk menyadari bahwa menuntut keseimbangan hidup tidak sama dengan menghindari tanggung jawab. Work-life balance bukanlah dalih untuk bermalas-malasan, tapi merupakan strategi sadar untuk menjaga energi, makna, dan keberlanjutan dalam bekerja.

Menata Ulang Makna “Produktif”

Generasi kami tengah menata ulang makna produktivitas. Kami percaya bahwa produktif bukan berarti terus-menerus online, lembur hingga larut malam, atau bekerja tanpa jeda. Produktif berarti mampu bekerja dengan penuh energi, karena kehidupan di luar pekerjaan juga sehat dan terpenuhi. Ketika organisasi menyadari hal ini dan menyesuaikan pola kerja, yang merasakan manfaat bukan hanya Gen Z, tapi seluruh ekosistem kerja.

Di tengah meningkatnya kasus burnout dan percepatan dunia kerja yang semakin gila, mungkin sudah waktunya mendengar suara generasi yang berani berkata: “Kerja ya kerja, hidup ya hidup.” Karena bagi kami, masa depan dunia kerja yang sehat hanya bisa tercapai jika semua pihak menyadari bahwa manusia bukan mesin dan pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang tetap memungkinkan kami menjadi manusia seutuhnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *