“Jika kita memahami bahwa korupsi adalah perbuatan memalukan, dan kita tidak memberi pemakluman terhadap tindakan korupsi, mestinya akan membuat orang takut melakukan korupsi.”
Pernyataan Novel Baswedan itu merangkum kegelisahan publik hari ini. Skandal korupsi yang mengemuka satu per satu tidak lagi memicu keterkejutan, bahkan cenderung disikapi dengan datar. Kita seakan terbiasa hidup dalam lanskap sosial yang menormalisasi penyimpangan.
Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencakup sedikitnya tujuh jenis tindak pidana korupsi, dari penggelapan keuangan negara hingga praktik suap dan gratifikasi. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kejahatan tersebut tidak hanya berdimensi hukum, tetapi menjelma menjadi pola pikir dan budaya sosial. Korupsi bukan lagi sekadar tindakan menyimpang, melainkan krisis moral yang menyusup hingga ke ruang-ruang kehidupan sehari-hari.
Di tengah kultur serbainstan, banyak orang enggan mengikuti prosedur yang dianggap panjang dan melelahkan. Keengganan inilah yang mendorong tumbuhnya perilaku jalan pintas. Pengurusan KTP adalah contoh sederhana: meski pemerintah menetapkan biaya nol rupiah, sebagian masyarakat memilih membayar oknum tertentu agar prosesnya dipercepat.
Praktik kecil semacam ini menegaskan betapa tipisnya kesadaran publik mengenai integritas dan kepatuhan terhadap aturan. Ia tampak sepele, tetapi sesungguhnya merupakan bagian dari rantai panjang normalisasi korupsi.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) juga menunjukkan gejala kemunduran. Setelah sempat berada pada peringkat ke-34 pada 2023, Indonesia turun ke posisi 37 pada 2024. Dibandingkan negara tetangga, jaraknya semakin lebar.
Singapura bertengger pada posisi ketiga dunia dengan skor 84, sementara Malaysia berada di peringkat 50. Data ini menjadi peringatan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari tuntas dan membutuhkan pembenahan struktural yang lebih serius.
Korupsi yang membudaya tidak hadir begitu saja. Lemahnya efektivitas hukum, birokrasi yang rumit, serta kualitas etika publik yang terus menurun membuka ruang bagi praktik korupsi untuk tumbuh subur. Ketika masyarakat merasa tidak berdaya menghadapi sistem yang koruptif, muncul sikap permisif.
Lama-kelamaan, korupsi bukan hanya dilakukan secara aktif misalnya melalui suap atau penyimpangan kewenangan tetapi juga secara pasif, ketika masyarakat memilih membiarkan praktik itu berlangsung.
Sikap permisif inilah yang memperkuat lingkaran korupsi. Selama masyarakat menoleransi kecurangan atas nama kecepatan, kenyamanan, atau keuntungan pribadi, upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah menyentuh akar masalah.
Karena itu, membangun budaya antikorupsi harus dimulai sejak dini dan secara sistemik. Pendidikan, keluarga, institusi publik, serta komunitas sosial harus menempatkan nilai kejujuran dan integritas sebagai fondasi utama kehidupan berbangsa.
Indonesia hanya akan keluar dari jerat budaya korupsi bila masyarakat menjadikan integritas sebagai standar kolektif. Tanpa itu, korupsi akan terus mengakar, berganti wajah, dan meluas tanpa batas.





