Agama Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah Swt., termasuk setelah menyelesaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Rasa syukur ini tidak hanya diungkapkan dalam doa dan ibadah, tetapi juga tercermin dalam berbagai ekspresi budaya yang berkembang di tengah masyarakat.
Salah satunya adalah Tradisi Lopis Syawal di Kecamatan Krapyak, Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Tradisi ini merupakan wujud nyata dari pengamalan ajaran Islam yang berpadu dengan kearifan lokal.
Tradisi Lopis Syawal dirayakan setiap tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Hari Raya Idulfitri. Di hari tersebut, masyarakat setempat secara bergotong royong membuat lopis berukuran raksasa, sebuah makanan khas berbahan dasar beras ketan yang dimasak dalam waktu lama hingga menghasilkan tekstur lengket.
Lopis ini kemudian didoakan bersama dan dibagikan kepada masyarakat. Tekstur lengket dari lopis melambangkan persatuan dan kebersamaan, yang menjadi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat dan sesuai dengan pesan-pesan Islam.
Lebih dari sekadar ritual budaya, Tradisi Lopis Syawal sarat dengan nilai-nilai religius. Islam sangat menekankan pentingnya silaturahmi dan berbagi rezeki. Melalui tradisi ini, masyarakat dari berbagai kalangan berkumpul untuk saling bermaafan, mempererat hubungan kekeluargaan, serta menyambung tali persaudaraan.
Dalam suasana penuh kebersamaan, tidak ada sekat antara satu dengan yang lain. Semua larut dalam semangat syukur dan cinta kasih sebagai wujud pengamalan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ukhuwah dan kepedulian sosial.
Lopis yang telah dimasak kemudian dibawa ke masjid atau ke rumah tokoh masyarakat untuk dibacakan doa secara bersama-sama. Setelah doa selesai, lopis dipotong dan dibagikan kepada semua warga yang hadir.
Proses ini bukan sekadar simbolik, tetapi merupakan bentuk nyata dari semangat berbagi rezeki dan kebahagiaan. Dalam ajaran Islam, bersedekah dan memberikan makanan kepada sesama adalah amalan mulia yang sangat dianjurkan, terlebih setelah melewati bulan penuh berkah, Ramadan.
Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan diwariskan secara turun-temurun. Meski zaman telah berubah, masyarakat Pekalongan tetap berupaya melestarikan tradisi ini dengan penuh semangat.
Dukungan dari pemerintah daerah dan komunitas budaya menjadi faktor penting dalam menjaga kelangsungan tradisi ini. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, Lopis Syawal dijadikan sebagai bagian dari festival budaya tahunan yang menjadi daya tarik wisatawan.
Selain sebagai ajang pelestarian budaya, festival ini juga memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat. Banyak warga yang kemudian memproduksi lopis dalam berbagai ukuran sebagai oleh-oleh khas Pekalongan.
Di sinilah nilai ekonomi dan religiusitas bertemu. Tradisi yang awalnya hanya sebatas ritual lokal kini tumbuh menjadi potensi yang mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat secara kreatif dan berkelanjutan.
Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, keberadaan tradisi seperti Lopis Syawal menjadi penting untuk terus dijaga. Ia bukan hanya warisan nenek moyang, tetapi juga pengingat bahwa nilai-nilai keislaman seperti syukur, kebersamaan, dan berbagi bisa dihidupkan dalam bentuk yang sederhana namun bermakna.
Masyarakat Pekalongan telah memberikan contoh bagaimana Islam dan budaya lokal bisa berjalan seiring, saling menguatkan, dan memperkaya khazanah kehidupan sosial.
Dengan demikian, Tradisi Lopis Syawal bukan hanya menjadi kebanggaan warga Pekalongan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana ajaran Islam bisa diimplementasikan secara kontekstual melalui budaya.
Ia mengajarkan kita untuk tidak melupakan akar tradisi dalam menjalankan syariat, serta pentingnya mempertahankan identitas budaya di tengah kemajuan zaman. Dalam lopis yang lengket itu, tersimpan erat nilai-nilai religius, solidaritas sosial, dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.





