Kekerasan seksual verbal adalah bentuk kekerasan yang sering diabaikan dalam masyarakat kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah tindakan atau perilaku yang menggunakan kekuatan, paksaan, atau agresi untuk merugikan, menyakiti, atau mengendalikan orang lain. Kekerasan ini tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai moral serta etika.
Dalam agama Islam, kekerasan dilarang keras kecuali dalam konteks tertentu seperti pembelaan diri. Hal ini juga berlaku dalam agama-agama lain yang tidak mengajarkan atau membenarkan tindakan kekerasan. Seksual, di sisi lain, berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan seks atau aktivitas seksual, baik secara fisik, psikologis, maupun budaya.
Sedangkan istilah verbal mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan kata-kata atau ucapan, baik secara lisan maupun tulisan. Kekerasan seksual verbal adalah tindakan yang menggunakan kata-kata dengan unsur seksual untuk merendahkan, mengeksploitasi, atau mengontrol seseorang. Meskipun tidak melibatkan sentuhan fisik, dampaknya pada psikologis korban sangat signifikan dan sering kali diabaikan sebagai lelucon semata.
Sebuah kasus yang menjadi sorotan baru-baru ini melibatkan seorang perempuan di Jakarta Selatan yang menjadi korban catcalling oleh sekelompok pengemudi ojek online.
Dalam laporan yang diangkat oleh Detiknews, perempuan berinisial A menceritakan bagaimana dirinya menjadi sasaran pelecehan verbal di Stasiun Kebayoran.
Ia mengungkapkan bahwa para pengemudi ojek tersebut terus-menerus menawarkan jasa mereka meskipun ia sudah menolak. Bahkan, salah satu pelaku bertindak agresif dengan mendekati tubuhnya, yang membuatnya merasa tidak nyaman dan takut.
A mengatakan bahwa awalnya ia mencoba bersikap tenang, namun ketika pelecehan itu terus berlanjut, ia merasa marah dan akhirnya terlibat adu mulut dengan para pelaku. Situasi ini mencerminkan betapa seringnya tindakan seperti ini dianggap remeh oleh pelaku, padahal dampaknya sangat besar bagi korban.
Baca Juga: Integrasi Teknologi dalam Pendidikan Matematika: Langkah Menuju Era Baru Pembelajaran
A menceritakan bahwa ia melaporkan kejadian tersebut kepada satpam yang bertugas di stasiun. Ia berharap ada tindakan tegas terhadap para pelaku, serta peningkatan keamanan di tempat umum seperti stasiun.
A juga berharap masyarakat semakin menyadari seriusnya kasus-kasus pelecehan seksual verbal dan tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang normal. Ia mengingatkan bahwa pelecehan verbal, sekecil apa pun, dapat meninggalkan trauma mendalam pada korban, terutama karena sifatnya yang sering kali tidak terlihat.
Budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita menjadi salah satu penyebab utama mengapa kekerasan seksual verbal kerap dinormalisasi. Dalam budaya ini, laki-laki dianggap sebagai pemegang kekuasaan utama dalam berbagai aspek kehidupan, sementara perempuan sering kali dipandang rendah dan dianggap sebagai objek yang dapat dipermainkan.
Ketidaksetaraan ini membatasi kebebasan perempuan serta memperkuat stereotip yang merugikan mereka. Media juga turut berkontribusi dalam memperkuat budaya ini melalui normalisasi tindakan-tindakan seksis dalam budaya populer.
Artikel yang diterbitkan oleh Kumparan menunjukkan bagaimana lelucon seksis sering dianggap sebagai bagian dari hiburan, padahal hal ini memperkuat budaya pelecehan seksual.
Tidak hanya di ruang publik, pelecehan seksual verbal juga marak terjadi di media sosial. Platform digital sering kali menjadi tempat di mana komentar-komentar bernada seksual atau melecehkan beredar tanpa kendali.
Kolom komentar di media sosial yang membahas perempuan sering kali dipenuhi dengan komentar seksis yang merendahkan. Normalisasi komentar seperti ini, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, dapat memperkuat budaya patriarki dan seksisme.
Salah satu contoh kasus yang mencuat adalah ketika penyanyi Bernadya berbicara tentang pelecehan yang ia alami di media sosial. Komentar-komentar yang menyinggung tubuhnya tidak hanya merusak secara emosional, tetapi juga menciptakan ruang digital yang tidak aman bagi perempuan.
Baca Juga: Analisis Dampak Globalisasi Terhadap Tenaga Kerja dalam Perdagangan Internasional dan Ekonomi Dunia
Dalam unggahannya, Bernadya mengungkapkan kesedihan dan rasa frustasinya terhadap komentar-komentar tersebut. Ia merasa bahwa ruang digital seharusnya menjadi tempat yang aman untuk berekspresi tanpa harus takut menghadapi pelecehan.
Label musik yang menaunginya, Juni Records, juga memberikan pernyataan tegas bahwa mereka tidak akan memberikan ruang bagi pelaku pelecehan di media sosial. Mereka menyerukan pentingnya menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif untuk semua orang.
Dampak kekerasan berbasis gender online (KBGO) dapat sangat bervariasi pada masing-masing korban. Secara psikologis, korban sering mengalami depresi, kecemasan, dan rasa takut yang mendalam. Pada kasus-kasus tertentu, pikiran untuk mengakhiri hidup bahkan bisa muncul akibat tekanan yang mereka alami.
Secara sosial, korban sering kali merasa terasing dan menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dari keluarga dan teman-teman. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang foto atau videonya disebarluaskan tanpa izin, yang membuat mereka merasa dipermalukan di depan umum.
Dampak ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Korban pelecehan sering kali kehilangan pekerjaan atau pendapatan karena merasa tidak aman untuk beraktivitas di ruang publik maupun digital. Mereka juga cenderung melakukan sensor diri, seperti menghapus akun media sosial mereka, yang pada akhirnya membatasi akses mereka terhadap informasi, layanan, dan komunikasi profesional. Semua ini berkontribusi pada pelanggengan ketidaksetaraan gender, baik di dunia online maupun offline.
Penting untuk dicatat bahwa kekerasan seksual verbal, baik di ruang publik maupun digital, tidak hanya merugikan individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Budaya yang mentoleransi atau bahkan mendukung tindakan-tindakan ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak adil.
Baca Juga: Pemahaman dan Pengaruh Filsafat Ilmu dalam Kehidupan Modern
Oleh karena itu, upaya untuk menghentikan kekerasan seksual verbal harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan media. Pendidikan tentang kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Media juga harus mengambil peran aktif dalam mengedukasi masyarakat tentang dampak serius dari pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik.
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak dan martabat setiap individu, terlepas dari gender, adalah langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman. Selain itu, pelaku kekerasan seksual verbal harus diberikan sanksi yang tegas untuk mencegah tindakan serupa di masa depan.
Korban juga perlu didukung, baik secara hukum maupun psikologis, agar mereka dapat pulih dari trauma yang mereka alami. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif, di mana setiap orang merasa aman dan dihormati.





