Melawan Arus Tanpa Suara: “Aerials” dan Kegelisahan Manusia Modern

sumber: rocknemzedek.hu
sumber: rocknemzedek.hu

“Aerials” bukanlah lagu yang maknanya dapat langsung dipahami dalam sekali dengar. Lagu ini bukan tentang cinta, patah hati, atau tema ringan yang umum dijumpai dalam lagu-lagu populer. Justru sebaliknya, di balik aransemen musiknya yang tenang dan atmosferik, tersimpan kritik tajam terhadap kondisi sosial manusia modern yang perlahan kehilangan jati diri dalam arus dunia yang dipenuhi tuntutan, standar, dan aturan tak tertulis.

Lagu ini dirilis oleh System of a Down pada tahun 2001, menjadi penutup album Toxicity yang sekaligus mempertegas karakter khas mereka musik dengan lapisan makna mendalam, penuh kegelisahan sosial. Band asal Amerika ini memang dikenal sebagai kelompok musik yang vokal menyuarakan isu-isu penting seperti perang, politik, ketidakadilan, dan dominasi kekuasaan. Namun, Aerials tampil berbeda: lebih tenang dari segi musikalitas, namun tak kalah menggugah secara naratif.

Bacaan Lainnya

Jika ditelaah melalui pendekatan Cultural Studies, lagu ini dapat dibaca sebagai kritik budaya yang menyentuh tiga aspek penting: hegemoni budaya, krisis identitas, serta peran media dalam membentuk kesadaran kolektif. Ketiganya membingkai pengalaman manusia modern dalam sistem sosial yang nyaris tanpa celah bagi suara-suara berbeda.

Pada lirik pembuka, “Life is a waterfall, we’re one in the river, and one again after the fall,” tersirat makna bahwa manusia seolah memiliki arah hidup masing-masing, padahal kenyataannya kita semua hanyut dalam aliran yang sama arus sistemik yang menenggelamkan kebebasan berpikir.

Dalam konteks pemikiran Antonio Gramsci, inilah yang disebut sebagai hegemoni: dominasi yang tak lagi dipaksakan secara kasar, namun diterima dan dijalani secara sukarela oleh masyarakat.

Kita tak sadar bahwa konsep kesuksesan, kebahagiaan, hingga cita-cita telah lama ditentukan oleh nilai-nilai dominan yang diwariskan sejak kecil. Apa yang dianggap berhasil atau layak diperjuangkan seringkali bukan berasal dari keinginan personal, melainkan dari narasi sosial yang terus direproduksi. Dalam hal ini, Aerials hadir sebagai bentuk perlawanan sunyi tidak lantang, tetapi tajam dalam menyampaikan pesan.

Lirik “When you lose small mind, you free your life” menawarkan perspektif berbeda. Lagu ini tidak menganjurkan anarkisme, tetapi mengajak pendengarnya untuk melepaskan cara berpikir sempit yang dibentuk oleh sistem sosial. Kebebasan sejati, menurut lagu ini, justru muncul saat seseorang mampu keluar dari kungkungan narasi dominan yang mengatur bagaimana ia harus hidup dan bertindak.

Pemikiran ini selaras dengan gagasan Dick Hebdige yang menyebutkan bahwa bentuk perlawanan budaya tidak selalu diekspresikan secara frontal. Kadang, memilih menjadi berbeda atau menolak norma yang tidak adil sudah merupakan bentuk resistensi yang kuat. Aerials tidak menyuruh kita untuk memberontak secara fisik, namun menawarkan jalan reflektif untuk menyadari bahwa menjadi berbeda adalah hak dasar setiap manusia.

Isu lain yang mengemuka dalam lagu ini adalah krisis identitas. Di era digital dan masyarakat konsumtif seperti sekarang, standar kecantikan, keberhasilan, atau kebahagiaan diseragamkan melalui media massa dan media sosial.

Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terbentuk melalui proses sosial, persepsi, dan representasi. Dalam konteks ini, manusia modern seringkali kehilangan jati diri karena terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial.

Video musik Aerials mempertegas kritik ini. Di sana ditampilkan sosok anak dengan wajah tak biasa yang menjadi tontonan masyarakat luas. Ia dipuji, diwawancarai, dijadikan objek kekaguman—namun sekaligus kehilangan sisi kemanusiaannya karena direduksi menjadi sekadar hiburan.

Ia tidak lagi dianggap sebagai individu utuh, melainkan sebagai “fenomena” yang layak dikonsumsi publik. Inilah potret menyedihkan tentang bagaimana mereka yang berbeda justru dijauhkan dari hak untuk menjadi diri sendiri.

Selain itu, lagu ini juga menyoroti bagaimana media berperan dalam membentuk cara kita melihat realitas. Mengutip pemikiran Michel Foucault, diskursus bukan hanya kumpulan kata-kata, melainkan cara berpikir yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan dalam masyarakat.

Media, dalam posisi hegemoniknya, menjadi penguasa narasi. Ia menentukan siapa yang layak tampil, siapa yang dianggap sukses, dan siapa yang dikecualikan. Aerials mengajak kita untuk jeda sejenak—melihat ulang narasi yang kita telan bulat-bulat setiap hari.

Lagu ini hadir sebagai pengingat bahwa hidup tidak harus mengikuti satu arus tunggal. Kita tidak perlu selalu terlihat bahagia, produktif, dan sempurna seperti yang ditampilkan di media sosial. Manusiawi rasanya jika kita merasa lelah, bingung, bahkan mempertanyakan makna hidup itu sendiri. Aerials menyampaikan bahwa menjadi berbeda bukanlah kelemahan. Justru di situlah letak kekuatan dan keunikan kita sebagai manusia.

Pelajaran penting dari lagu ini adalah bahwa perubahan sosial tidak selalu dimulai dari gerakan besar. Seringkali, perubahan justru berawal dari keberanian kecil untuk tidak mengikuti arus, dari keputusan sadar untuk mempertahankan jati diri, dari kemampuan untuk melihat dunia secara lebih kritis.

Dalam dunia pendidikan, semangat ini bisa diimplementasikan dengan memberi ruang kepada siswa untuk berpikir mandiri, tidak hanya menelan kurikulum secara pasif. Dalam ruang media, perlu didorong munculnya narasi-narasi alternatif yang mewakili keragaman pengalaman hidup.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran untuk tidak cepat menghakimi dan lebih mendengarkan orang lain bisa menjadi langkah awal menuju masyarakat yang lebih inklusif.

Aerials adalah lagu yang tidak berteriak, namun maknanya menggema lama bagi siapa pun yang mau mendengar. Ia tidak menggurui, tetapi mengajak kita untuk merenung. Di tengah dunia yang makin bising dan penuh tuntutan, lagu ini menjadi ruang sunyi yang menyadarkan kita bahwa menjadi otentik adalah bentuk keberanian tertinggi. Dan mungkin, di tengah derasnya arus modernitas, kita semua perlu lebih sering mendengarkan lagu-lagu seperti ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *