Banyak muncul pendapat bahwa petahana dalam Pilkada sulit dikalahkan. Pandangan ini melahirkan mitos di kalangan masyarakat bahwa melawan petahana adalah sesuatu yang mustahil. Dalam dunia politik, mitos petahana atau incumbent sering menjadi isu sentral dalam setiap kontestasi pemilihan.
Petahana dianggap memiliki keunggulan yang sulit ditandingi karena akses terhadap sumber daya negara, pengaruh birokrasi, serta tingkat pengenalan publik yang lebih tinggi. Namun, dinamika politik di Indonesia maupun dunia menunjukkan bahwa mitos ini tidak selalu benar. Pemilih kini semakin kritis, dan narasi perubahan menjadi senjata ampuh untuk melawan keunggulan petahana.
Mitos petahana adalah keyakinan bahwa kandidat yang sedang menjabat memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan pemilihan berikutnya. Hal ini didasarkan pada beberapa faktor seperti akses terhadap sumber daya, eksposur media, dan pengakuan publik. Petahana sering kali memiliki akses lebih besar terhadap dana, program pemerintah, serta jaringan birokrasi yang dapat dimobilisasi untuk mendukung pencalonan mereka.
Dengan posisinya yang strategis, petahana cenderung mendapatkan liputan media lebih banyak, baik melalui pemberitaan program kerja maupun kampanye. Nama petahana biasanya lebih dikenal masyarakat, memberikan keuntungan awal dibandingkan dengan penantang.
Namun, keunggulan ini bukan berarti tak tergoyahkan. Kesadaran politik masyarakat yang semakin meningkat membuat pemilih tidak lagi hanya mengandalkan popularitas atau jabatan semata. Mereka lebih fokus pada kinerja nyata serta visi yang ditawarkan kandidat.
Pemilu serentak pada 2019 dan Pilkada 2020 menjadi bukti bahwa petahana tidak selalu menang. Beberapa kekalahan petahana mencerminkan bahwa narasi perubahan dapat menggoyahkan dominasi mereka.
Misalnya, pada Pilkada Kota Medan 2020, petahana Akhyar Nasution kalah dari Bobby Nasution, yang membawa semangat baru dan mendapat dukungan luas. Kampanye Bobby menekankan isu-isu relevan seperti perbaikan infrastruktur, pelayanan publik, dan kesejahteraan sosial.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Jember, di mana Faida, petahana yang mencalonkan diri secara independen, kalah dari pasangan Hendy Siswanto-Muhammad Balya Firjaun. Kekalahan Faida sebagian besar disebabkan oleh kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja petahana menjadi salah satu alasan utama kekalahan mereka. Ketika petahana gagal memenuhi janji politik atau tidak mampu mengatasi masalah utama, pemilih cenderung mencari alternatif baru.
Narasi perubahan menjadi senjata utama bagi kandidat penantang untuk menarik pemilih yang merasa stagnasi. Generasi muda, yang lebih terhubung dengan informasi melalui media sosial, menjadi lebih kritis terhadap kandidat. Mereka fokus pada rekam jejak serta program kerja, bukan semata-mata popularitas.
Krisis besar seperti pandemi COVID-19 atau masalah ekonomi sering kali menjadi ujian berat bagi petahana. Jika gagal merespons dengan baik, petahana bisa kehilangan kepercayaan publik.
Melawan petahana membutuhkan strategi yang matang. Kandidat penantang harus memahami kebutuhan utama masyarakat dan menawarkan solusi konkret. Pendekatan berbasis data, seperti survei atau diskusi dengan masyarakat, sangat penting untuk merancang program yang relevan. Di era digital, media sosial menjadi platform utama untuk menjangkau pemilih.
Kandidat dapat memanfaatkannya untuk membangun narasi yang kuat, menyebarkan program kerja, dan menjalin komunikasi langsung dengan pemilih. Dukungan dari partai politik, tokoh masyarakat, dan kelompok sipil menjadi elemen penting dalam melawan dominasi petahana. Koalisi yang solid menunjukkan bahwa kandidat memiliki dukungan luas dan mampu menggalang persatuan di tengah masyarakat.
Kandidat juga harus memilih isu yang menjadi perhatian utama masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau ekonomi, untuk menunjukkan kelemahan petahana sekaligus menawarkan solusi.
Melawan petahana bukan hanya fenomena lokal, tetapi juga terjadi di panggung politik internasional. Dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020, Joe Biden berhasil mengalahkan Donald Trump, yang saat itu menjabat sebagai presiden.
Strategi Biden memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan Trump, terutama dalam penanganan pandemi COVID-19, serta menawarkan visi kepemimpinan yang lebih inklusif dan stabil. Kemenangan Luiz Inácio Lula da Silva dalam Pemilu Brasil 2022 melawan petahana Jair Bolsonaro menjadi bukti lain bahwa narasi perubahan dapat mengalahkan kekuatan incumbent. Lula mengusung isu kesejahteraan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan penanganan kemiskinan sebagai fokus utama kampanyenya.
Demokrasi memberi ruang bagi semua kandidat untuk bersaing secara adil. Mitos petahana sering kali dilebih-lebihkan sehingga menciptakan persepsi yang keliru di masyarakat. Padahal, kemenangan petahana tidak semata-mata ditentukan oleh status mereka, melainkan oleh faktor lain seperti kinerja, strategi kampanye, dan dinamika politik lokal.
Baca Juga: Pengaruh Negatif Gadget pada Perkembangan Anak
Melawan mitos ini bukan berarti menafikan keunggulan petahana, tetapi mengajak publik untuk lebih kritis dan obyektif dalam menilai kandidat. Dengan memahami realitas ini, masyarakat diharapkan mampu membuat keputusan politik yang lebih rasional dan demokratis, sekaligus mendorong iklim kompetisi yang sehat dalam proses pemilu.
Dalam dunia yang terus berubah, hanya mereka yang mampu beradaptasi dan menjawab kebutuhan rakyatlah yang akan memenangkan hati pemilih. Pemilu 2024 mendatang akan menjadi ajang pembuktian apakah mitos petahana masih bertahan atau tergeser oleh semangat perubahan.
Dengan strategi yang tepat, narasi perubahan yang kuat, dan dukungan masyarakat, kandidat penantang dapat menggoyahkan dominasi petahana. Demokrasi sejati membuka peluang bagi semua pihak untuk bersaing secara adil dan memberikan pilihan terbaik bagi rakyat.





