Membongkar Ortodoksi: Hasan Hanafi dan Revolusi Pemikiran Islam Kontemporer

Ilustrasi foto Hasan Hanafi/kompasiana.com
Ilustrasi foto Hasan Hanafi/kompasiana.com

Pemikiran Islam kontemporer tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ortodoksi Islam terus berpegang teguh pada teks-teks klasik dan doktrin yang telah mapan, sementara di sisi lain, terdapat kebutuhan mendesak untuk menafsirkan ulang tradisi agar relevan dengan tantangan zaman. Dalam konteks ini, pemikiran Hasan Hanafi menjadi obor pencerahan yang menerangi jalan menuju reformasi intelektual dan spiritual.

Hasan Hanafi, seorang pemikir Muslim asal Mesir, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam wacana Islam progresif. Ia dikenal dengan gagasan “heritage and renewal” (turats wa tajdid), sebuah pendekatan yang menjembatani tradisi Islam dengan realitas modern. Menurut Hanafi, Islam bukanlah sekadar dogma statis, melainkan sebuah kerangka dinamis yang harus terus berkembang sesuai kebutuhan umat manusia.

Bacaan Lainnya

Hanafi menantang ortodoksi dengan mempertanyakan cara umat Islam memahami warisan tradisional mereka. Baginya, warisan Islam, baik berupa teks suci, tafsir, maupun hukum fikih, adalah produk sejarah yang lahir dari konteks tertentu.

Oleh sebab itu, pemikiran tersebut tidak dapat dijadikan standar mutlak tanpa mempertimbangkan perubahan zaman. Dalam karyanya, Hanafi menekankan pentingnya melakukan dekontruksi, yakni pembongkaran kritis terhadap pemahaman klasik yang membatasi kebebasan berpikir umat Islam. Ia mengajak umat untuk kembali kepada esensi agama, yaitu pembebasan manusia dari penindasan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial.

Pemikiran Hanafi ini menimbulkan reaksi beragam. Di satu sisi, ia mendapat dukungan dari kalangan progresif yang melihat gagasannya sebagai pintu menuju pembaruan. Di sisi lain, ia menghadapi penolakan dari kalangan konservatif yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap tatanan keagamaan. Namun, bagi Hanafi, tantangan tersebut adalah bagian dari proses transformasi yang harus dilewati oleh setiap peradaban.

Salah satu kontribusi besar Hanafi adalah pembacaan ulang terhadap teologi Islam. Ia menggagas konsep teologi pembebasan Islam yang terinspirasi dari gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin. Dalam pandangannya, Islam harus menjadi alat perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan hegemoni budaya Barat.

Dalam konteks ini, Islam tidak hanya berperan sebagai agama spiritual, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang mendukung kaum tertindas. Pemikiran ini sangat relevan di tengah tantangan global saat ini, seperti krisis lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan meningkatnya diskriminasi. Hanafi percaya bahwa Islam dapat menjadi solusi universal bagi berbagai persoalan tersebut tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Konsep pembebasan ini menjadi pengingat bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang menekankan pentingnya melawan ketidakadilan, baik dalam hubungan antarindividu maupun dalam struktur sosial. Hanafi melihat nilai-nilai ini sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi.

Baca Juga: Kesejahteraan Guru Honorer: Kisah Supriyani dan Realita yang Terabaikan

Salah satu hal yang sering menjadi perdebatan dalam pemikiran Hanafi adalah kritiknya terhadap otoritas teks. Ia menolak pandangan bahwa teks suci memiliki makna tunggal yang absolut. Sebaliknya, Hanafi menekankan pentingnya kontekstualisasi, yaitu membaca teks dengan mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan budaya saat ini.

Pendekatan ini membuka ruang bagi pluralitas tafsir dalam Islam, yang memungkinkan umat Islam menjadi lebih inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Meski demikian, pandangan ini juga menuai kontroversi, terutama dari kalangan konservatif yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap keutuhan ajaran Islam.

Hanafi juga menekankan pentingnya membebaskan umat dari ketergantungan terhadap otoritas ulama. Menurutnya, umat Islam harus berani berpikir mandiri dan menggunakan akal mereka dalam memahami ajaran agama. Sikap ini bukan untuk menafikan peran ulama, tetapi untuk menciptakan umat yang lebih kritis dan kreatif dalam menjalankan agama mereka.

Meski pemikiran Hasan Hanafi telah membuka banyak pintu untuk dialog dan pembaruan, tantangan besar tetap membayangi. Resistensi dari kelompok konservatif, polarisasi internal umat Islam, serta stigma terhadap pemikiran progresif menjadi hambatan utama.

Namun, seperti yang sering ditekankan oleh Hanafi, perubahan tidak pernah terjadi tanpa perjuangan. Ia percaya bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menafsirkan ulang agama sesuai kebutuhan zamannya. Hal ini tidak hanya akan memperkaya tradisi Islam, tetapi juga memastikan bahwa agama ini tetap relevan bagi umat manusia.

Pemikiran Hasan Hanafi adalah sebuah undangan untuk merevolusi cara kita memahami agama dan dunia. Ia mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang hidup, yang harus terus berkembang agar tetap relevan dalam menjawab persoalan kemanusiaan.

Baca Juga: Pemikiran Muhammad Abduh: Membebaskan Budaya Taqlid dan Korelasinya dengan Indonesia

Bagi umat Islam kontemporer, warisan intelektual Hasan Hanafi adalah panggilan untuk membongkar ortodoksi dan membangun kembali fondasi pemikiran Islam yang inklusif, dinamis, dan relevan. Sebagaimana ia katakan, “Islam adalah agama yang menantang, bukan agama yang menyerah.”

Selain itu, Hanafi mengajarkan bahwa keberanian intelektual adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dunia Islam, katanya, tidak akan mampu bersaing di panggung global jika terus terjebak dalam romantisme masa lalu. Dengan berpikir maju dan terbuka, umat Islam dapat memainkan peran penting dalam membentuk peradaban global yang lebih adil dan harmonis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *