Mengajar dengan Hati, Bukan Sekadar Mengejar Target Silabus

Ilustrasi kontras antara mengajar berdasarkan silabus semata dan mengajar dengan empati dan hati. (GG)
Ilustrasi kontras antara mengajar berdasarkan silabus semata dan mengajar dengan empati dan hati. (GG)

Di tengah dinamika pendidikan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, guru sering kali dihadapkan pada beragam tuntutan administratif maupun akademik. Menyelesaikan silabus tepat waktu, memastikan siswa mencapai standar kelulusan, menyusun laporan penilaian, mengikuti pelatihan, hingga melaksanakan berbagai tugas administratif lainnya menjadi bagian dari keseharian para pendidik. Di balik padatnya beban kerja tersebut, esensi dari profesi guru—mengajar dengan hati—mulai tergeser.

Mengajar sejatinya bukan hanya sekadar menyampaikan materi atau memenuhi target Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Lebih dari itu, mengajar merupakan proses membentuk karakter, membangun kepribadian, dan memberi pengaruh positif dalam kehidupan peserta didik.

Bacaan Lainnya

Namun realitanya, guru sering terjebak pada tekanan kurikulum yang kaku dan target hasil belajar yang terukur secara angka, sehingga proses pembelajaran menjadi mekanis, formalistik, dan kehilangan sentuhan emosional yang sejatinya sangat penting dalam dunia pendidikan.

Coba bayangkan seorang siswa yang datang ke sekolah dengan rasa cemas karena tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan karena ia malas, melainkan karena harus membantu orang tuanya bekerja sepulang sekolah.

Atau siswa yang terlihat pasif dan murung, bukan karena ia tidak tertarik belajar, melainkan tengah menghadapi konflik dalam keluarganya. Bila guru hanya fokus pada penyampaian materi dan pencapaian kurikulum, maka sisi kemanusiaan dalam proses pembelajaran rentan terabaikan.

Mengajar dengan hati berarti melihat siswa sebagai manusia utuh yang memiliki emosi, latar belakang sosial, dan tantangan hidup masing-masing. Ketika guru hadir sebagai fasilitator, pembimbing, sekaligus pendengar yang empatik, proses belajar akan berubah menjadi pengalaman yang lebih personal dan bermakna, baik secara akademik maupun sosial-emosional. Guru yang tulus akan lebih peka terhadap kebutuhan siswanya dan menciptakan ruang belajar yang aman dan nyaman.

Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan kerja keras. Guru yang mengajar dengan hati akan menginspirasi siswa untuk menghargai proses, bukan semata mengejar hasil.

Ketika ketulusan hadir dalam proses belajar mengajar, maka tumbuhlah motivasi intrinsik dalam diri siswa, yaitu dorongan belajar yang muncul dari kesadaran dan keinginan sendiri.

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih cenderung berorientasi pada hasil akademik. Nilai, ujian, dan peringkat menjadi tolok ukur keberhasilan yang dominan, sementara aspek-aspek non-akademik seperti semangat belajar, kedisiplinan, dan perkembangan karakter sering kali terpinggirkan.

Padahal, seorang siswa yang hari ini mendapat nilai rendah belum tentu gagal dalam kehidupan. Sebaliknya, siswa yang selalu mendapat peringkat teratas belum tentu memiliki daya lenting yang kuat dalam menghadapi tantangan dunia nyata.

Seorang guru profesional adalah mereka yang mampu memahami keberagaman karakter dan latar belakang siswa. Ia tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membaca suasana hati kelas, memberi perhatian pada siswa yang tertinggal, serta menyediakan dukungan emosional bagi yang sedang mengalami kesulitan.

Perhatian kecil seperti menyapa siswa dengan ramah, memberi waktu tambahan untuk memahami pelajaran, atau memuji usaha meskipun belum berhasil, dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi belajar.

Momentum Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi peluang untuk memperkuat pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru diberikan ruang dan kepercayaan untuk merancang pembelajaran yang kontekstual, sesuai kebutuhan dan potensi peserta didik. Ini saatnya dunia pendidikan kembali pada ruhnya: menjadi ruang tumbuh dan berkembang bagi setiap anak manusia.

Mengajar dengan hati memang tidak mudah, apalagi di tengah sistem yang masih sarat birokrasi dan target administratif. Namun, guru adalah profesi yang paling dekat dengan harapan: harapan orang tua, harapan bangsa, dan harapan masa depan.

Maka, lebih dari sekadar menyelesaikan kewajiban, mengajar adalah tentang menyentuh hati, membimbing jiwa, dan menyalakan semangat belajar. Karena pada akhirnya, pendidikan yang bermakna bukan hanya membentuk manusia yang cerdas, tetapi juga yang berempati, tangguh, dan berkarakter.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *