Penangkapan mantan Kepala Desa dan Bendahara di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, atas dugaan korupsi dana desa senilai hampir Rp1 miliar merupakan gambaran nyata dari suramnya praktik penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.
Dana desa, yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan dan kesejahteraan warga, justru dijadikan ladang kejahatan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat.
Sejak program dana desa diluncurkan pada 2015, pemerintah memiliki niat mulia: mempercepat pembangunan wilayah pedesaan, memperkuat ekonomi lokal, dan mengurangi ketimpangan antarwilayah.
Namun, apa yang terjadi di Manggarai Barat menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan integritas penyelenggara desa, niat baik negara bisa berubah menjadi peluang empuk bagi korupsi.
Tindakan mantan kepala desa dan bendahara tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Uang sebesar itu, bila digunakan sebagaimana mestinya, bisa membangun jalan desa, memperbaiki fasilitas pendidikan, menyediakan pelatihan untuk petani dan nelayan, serta menciptakan lapangan kerja baru. Alih-alih membawa kemajuan, dana itu lenyap ditelan keserakahan segelintir orang.
Yang lebih memilukan, kasus-kasus serupa sering kali tak terendus selama bertahun-tahun. Minimnya pengawasan, lemahnya kapasitas audit internal, dan terbatasnya pemahaman masyarakat tentang hak mereka terhadap anggaran desa menjadi celah empuk bagi para pelaku. Di banyak tempat, kepala desa dan perangkatnya masih dianggap sebagai sosok tak tersentuh, membuat praktik-praktik penyimpangan sulit dibongkar.
Situasi ini seharusnya menjadi refleksi bersama. Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Perlu ada upaya sistematis untuk meningkatkan transparansi pengelolaan dana desa. Teknologi informasi harus dioptimalkan untuk membuka akses publik terhadap laporan keuangan desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus diperkuat perannya sebagai lembaga kontrol, bukan sekadar pelengkap administrasi. Masyarakat pun mesti dilibatkan aktif dalam setiap proses, mulai dari perencanaan hingga evaluasi penggunaan anggaran.
Tak kalah penting adalah penegakan hukum. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada kompromi terhadap pelaku korupsi, terlebih jika mereka berasal dari lingkup yang paling dekat dengan rakyat. Efek jera hanya akan muncul jika ada konsistensi dalam penindakan.
Pemberdayaan masyarakat menjadi kunci penting lainnya. Pendidikan antikorupsi perlu menjangkau hingga ke pelosok desa. Budaya diam dan pasrah harus diubah menjadi sikap kritis dan partisipatif. Warga desa berhak tahu ke mana uang mereka digunakan, dan mereka juga punya hak untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Penangkapan ini memang menyedihkan, namun bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem tata kelola dana desa secara menyeluruh. Jika kasus ini direspons dengan reformasi kebijakan dan peningkatan pengawasan, maka dari tragedi ini bisa lahir harapan baru. Pembangunan desa yang adil dan merata hanya akan tercapai jika setiap rupiah dari uang rakyat dikelola dengan jujur, terbuka, dan bertanggung jawab.
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H