Kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Pelecehan dan kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan atau pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh korban.
Hal ini mencakup berbagai bentuk, seperti cat calling, stalking, pemaksaan, ejekan atau lelucon berbau seksual, pertanyaan pribadi yang melanggar privasi, tatapan tidak pantas, hingga pelecehan melalui media sosial.
Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), tercatat 4.374 kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada tahun 2023, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 4.371 kasus. Angka-angka ini mencerminkan kondisi yang sangat memprihatinkan, di mana perempuan dari berbagai kalangan dan usia, mulai dari dewasa hingga anak-anak, menjadi korban.
Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja: di transportasi umum, jalanan, tempat kerja, institusi pendidikan, bahkan di dalam rumah sendiri. Tidak ada tempat yang sepenuhnya aman bagi perempuan.
Kekhawatiran ini semakin diperburuk oleh stereotip masyarakat yang menganggap perempuan memiliki kedudukan lebih rendah dibanding laki-laki. Pandangan bahwa laki-laki memiliki dominasi di ruang publik turut memperparah situasi, menjadikan perempuan sering kali dianggap lemah dan menjadi objek semata.
Namun, perempuan bukanlah objek seksual atau pemuas nafsu. Sebaliknya, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan tanggung jawab untuk saling menghormati dan menjaga satu sama lain. Ketimpangan pemahaman ini sering kali menjadi akar dari pelecehan yang berulang.
Ironisnya, korban pelecehan kerap kali disalahkan atas apa yang mereka alami. Banyak masyarakat yang berfokus pada pakaian korban, seolah-olah itu menjadi alasan pembenaran untuk tindakan pelaku.
Padahal, data menunjukkan bahwa pelecehan sering terjadi pada perempuan dengan pakaian tertutup. Bahkan jika korban mengenakan pakaian terbuka, hal tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk menyalahkan mereka. Masalah ini murni berasal dari niat, pikiran kotor, dan hawa nafsu pelaku.
Korban sering merasa terjebak oleh stigma yang ada di masyarakat. Banyak dari mereka tidak berani melapor karena khawatir akan dikucilkan atau dianggap salah. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang terus meminggirkan perempuan, bahkan dalam posisi mereka sebagai korban.
Satu fakta yang mengejutkan adalah meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang menjadi pelaku pelecehan. Data Bank Perlindungan Anak tahun 2023 menunjukkan bahwa 1,8% kasus pelecehan seksual dilakukan oleh anak-anak. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan orang tua terhadap penggunaan alat elektronik seperti ponsel dan akses media sosial.
Baca Juga: Mahasiswa Gen Z: Pemalas atau Generasi Pekerja Cerdas?
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 sebanyak 33,44% anak usia dini di Indonesia sudah menggunakan ponsel, dan 24,96% di antaranya telah mengakses internet. Lebih lanjut, anak-anak yang menjadi korban pornografi online mencapai 28%, korban pornografi anak online 21%, dan korban kekerasan seksual online 11%. Angka-angka ini menunjukkan perlunya perhatian lebih dalam mendidik anak-anak tentang penggunaan teknologi secara bertanggung jawab.
Dampak pelecehan dan kekerasan seksual terhadap korban sangat besar, baik secara fisik maupun mental. Korban sering kali mengalami trauma mendalam, gangguan tidur, depresi, stres, dan perasaan menyalahkan diri sendiri. Selain itu, dampak sosial seperti penurunan prestasi akademik, absensi yang meningkat, dan menjadi objek pembicaraan juga menjadi konsekuensi yang harus mereka hadapi.
Dampak ini tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek. Butuh waktu yang lama dan dukungan yang konsisten untuk membantu korban pulih dari pengalaman tersebut. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan tidak menghakimi korban.
Menghadapi situasi ini, diperlukan komitmen bersama untuk melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan seksual. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat undang-undang perlindungan perempuan dan anak, serta memastikan sanksi yang tegas bagi pelaku. Selain itu, edukasi tentang pentingnya menghormati batasan dan privasi harus dimulai sejak dini.
Baca Juga: Ruang Publik yang Tidak Aman: Refleksi atas Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia
Media massa juga memegang peran penting. Representasi perempuan yang positif di media harus ditingkatkan, dan pemberitaan mengenai pelecehan seksual harus dilakukan secara sensitif agar tidak memperburuk stigma yang ada. Di sisi lain, keluarga sebagai lingkungan pertama anak harus menjadi tempat yang mendidik tentang nilai-nilai kesetaraan dan saling menghormati.
Dengan menerapkan langkah-langkah konkret, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat, memperkuat regulasi, dan memberikan edukasi sejak usia dini, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi perempuan.
Semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, harus mengambil peran dalam menciptakan perubahan ini. Sebab, pelecehan dan kekerasan seksual bukan hanya masalah perempuan, melainkan masalah bersama yang membutuhkan solusi kolektif.