Di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada tantangan baru yang tidak kalah berat dari masa-masa sebelumnya: menguatnya sikap individualisme. Fenomena ini muncul seiring dengan kemajuan teknologi yang membuat manusia semakin mudah melakukan apa pun seorang diri berbelanja tanpa bertatap muka, bekerja dari rumah tanpa mengenal rekan sejawat, hingga menjalin relasi dalam ruang virtual tanpa kedekatan emosional yang nyata.
Individualisme memang membawa sejumlah manfaat: seseorang menjadi lebih mandiri, percaya diri, dan mampu mengeksplorasi gagasan baru tanpa takut dikekang oleh opini kolektif. Namun, ketika nilai ini tumbuh berlebihan, ia justru menumbuhkan jarak sosial yang kian lebar. Rasa empati menipis, solidaritas melemah, dan semangat kebersamaan yang dahulu menjadi ciri khas bangsa Indonesia perlahan terkikis.
Gotong royong, yang sejak lama menjadi ruh kehidupan sosial bangsa, kini seakan kehilangan napasnya. Padahal, nilai ini bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan fondasi moral yang membentuk identitas nasional kita.
Dalam budaya gotong royong, setiap orang diajak untuk saling menopang dan menolong tanpa pamrih, karena sadar bahwa kehidupan bersama hanya bisa bertahan bila dibangun atas dasar kepedulian.
Sebagaimana dikemukakan oleh Risma N.L (2024), individualisme adalah kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan dan kebebasan individu dibandingkan kepentingan bersama. Di masyarakat modern, pandangan ini sering kali dianggap wajar, bahkan ideal, karena dinilai sejalan dengan semangat kompetisi dan kebebasan berekspresi.
Akan tetapi, ketika orientasi ini tidak diimbangi dengan nilai-nilai sosial seperti gotong royong, maka lahirlah generasi yang lebih mementingkan pencapaian pribadi daripada kesejahteraan bersama.
Ada banyak faktor yang mendorong tumbuhnya individualisme. Pertama, sistem ekonomi yang kompetitif, seperti kapitalisme, membuat manusia berlomba mengejar kesuksesan pribadi. Kedua, lingkungan sosial yang menekankan kebebasan individu tanpa memperhatikan dimensi sosialnya.
Ketiga, perkembangan teknologi digital yang mendorong interaksi virtual dan mengurangi hubungan tatap muka. Dan keempat, pengalaman pribadi yang mengecewakan seperti dikhianati atau tidak dipercaya yang akhirnya membuat seseorang menarik diri dari lingkungannya.
Namun, bukan berarti individualisme tidak memiliki sisi positif. Dalam batas tertentu, nilai ini mampu menumbuhkan tanggung jawab pribadi, kedisiplinan, serta kreativitas. Persoalannya muncul ketika semangat kebersamaan tergantikan oleh kepentingan diri.
Manusia modern, dalam konteks ini, sering kali merasa cukup dengan dirinya sendiri, hingga lupa bahwa ia bagian dari masyarakat yang saling membutuhkan.
Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat gotong royong sebagai penyeimbang. Gotong royong bukan hanya praktik sosial, tetapi cerminan filosofi hidup bangsa Indonesia. Secara sosiologis, gotong royong membangun solidaritas sosial dan memperkuat rasa persaudaraan antarwarga.
Melalui kegiatan ini, setiap individu diajak untuk berinteraksi langsung, saling memahami, dan belajar menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Lebih jauh, implementasi nilai-nilai Pancasila menjadi kunci penting untuk melemahkan sikap individualisme. Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi juga panduan moral dalam berkehidupan sosial.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menuntun setiap individu untuk menghormati sesamanya. Sila persatuan Indonesia menegaskan pentingnya kebersamaan dalam keberagaman. Dan sila keadilan sosial mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai bila setiap orang peduli pada yang lain.
Pendidikan menjadi wahana utama dalam menanamkan nilai-nilai tersebut. Sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial harus berperan aktif menanamkan semangat gotong royong sejak dini. Ketika anak-anak tumbuh dalam atmosfer yang menekankan kepedulian dan kebersamaan, mereka akan memahami bahwa keberhasilan pribadi tidak pernah terlepas dari dukungan orang lain.
Maka, menguatkan gotong royong bukan hanya soal melestarikan tradisi, tetapi tentang mengembalikan jati diri bangsa. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, gotong royong adalah bentuk perlawanan halus terhadap keterasingan modern. Ia adalah cara kita menjaga kehangatan sosial di tengah dinginnya algoritma digital.
Implementasi nilai-nilai Pancasila menjadi langkah nyata untuk mengimbangi kecenderungan individualistik ini. Dengan mengamalkan nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan, masyarakat Indonesia dapat membangun kembali jalinan sosial yang kuat dan harmonis.
Di tengah kemajuan zaman yang serba cepat dan serba digital, gotong royong bukanlah konsep kuno yang ketinggalan zaman. Justru sebaliknya, ia adalah pondasi yang harus diperkuat agar bangsa ini tidak kehilangan arah kemanusiaannya.
Mari kita jadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kompas moral dalam menghadapi modernitasn agar Indonesia tetap menjadi rumah bagi kebersamaan, bukan sekadar kumpulan individu yang hidup berdampingan tanpa saling mengenal.
Referensi
Lestari, R. N., & Achdiani, Y. (2024). Pengaruh Globalisasi Terhadap Gaya Hidup Individualisme Masyarakat Modern. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 14(2), 117-128





