Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, literasi tetap menjadi fondasi utama yang membentuk arah dan masa depan suatu bangsa. Sayangnya, laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan realitas yang memprihatinkan.
Skor literasi membaca siswa Indonesia hanya mencapai 359 poin, mengalami penurunan 12 poin dibandingkan tahun 2018. Meski peringkat Indonesia naik lima posisi, pada 2022 Indonesia hanya menempati peringkat ke-71 dari 81 negara peserta.
Fenomena ini terjadi meskipun program-program literasi terus digalakkan di berbagai sekolah. Kegiatan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, penyediaan pojok baca yang dihias menarik, hingga beragam aktivitas bertema literasi, kini menjadi bagian dari laporan rutin kegiatan sekolah.
Namun, pertanyaannya: apakah semua itu benar-benar memberikan dampak yang nyata dalam meningkatkan kemampuan dan minat baca siswa?
Program literasi memang telah menjadi salah satu prioritas utama dalam kebijakan pendidikan. Sekolah-sekolah berlomba-lomba menciptakan program membaca untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa.
Namun, di balik semangat tersebut, masih terdapat masalah mendasar yang belum teratasi. Banyak sekolah menjalankan kegiatan membaca secara mekanis tanpa adanya tindak lanjut berupa diskusi, refleksi, atau penguatan pemahaman.
Akibatnya, aktivitas tersebut cenderung menjadi rutinitas yang kehilangan makna. Ketika membaca dipandang hanya sebagai kewajiban, bukan kebutuhan, maka minat siswa pun tidak tumbuh secara alami.
Seringkali, guru hanya memantau siswa membaca tanpa pendampingan bermakna. Padahal, peran guru sangat krusial dalam menumbuhkan kebiasaan membaca yang mendalam. Tanpa bimbingan yang tepat, kegiatan membaca hanya menjadi simbolis, tanpa efek jangka panjang terhadap pemahaman dan kemampuan literasi siswa.
Salah satu faktor lain yang turut melemahkan semangat literasi adalah keterbatasan jumlah dan variasi buku yang tersedia di sekolah. Banyak perpustakaan sekolah atau pojok baca tidak menyediakan buku yang relevan dengan usia dan minat siswa.
Koleksi yang monoton dan sudah usang membuat siswa cepat kehilangan minat. Ketika bacaan tidak menggugah rasa ingin tahu atau terasa jauh dari kehidupan mereka, maka kegiatan membaca kehilangan daya tariknya.
Dalam hal ini, keberagaman bahan bacaan menjadi kunci penting. Buku-buku yang aktual, kontekstual, dan menarik mampu membuka cakrawala berpikir siswa dan menumbuhkan kecintaan mereka terhadap membaca.
Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan terhadap kegiatan literasi perlu diubah secara menyeluruh. Literasi tidak cukup hanya diposisikan sebagai program, tetapi sebagai budaya yang harus hidup di dalam ekosistem sekolah.
Sekolah perlu merancang program literasi yang bermakna, menyenangkan, dan menyatu dengan kegiatan pembelajaran sehari-hari. Bahan bacaan harus beragam dan sesuai dengan dunia siswa. Guru pun perlu berperan aktif sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk memahami dan mengapresiasi bacaan mereka. Kegiatan membaca bisa dikembangkan dengan aktivitas lanjutan, seperti menulis tanggapan, berdiskusi, atau membuat proyek kreatif berbasis bacaan.
Pemanfaatan teknologi juga perlu dipertimbangkan. Di era digital ini, sumber bacaan tidak hanya terbatas pada buku cetak. Platform digital, buku elektronik, hingga podcast edukatif dapat memperkaya pengalaman literasi siswa.
Teknologi juga memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi bacaan yang sesuai dengan minat dan gaya belajar mereka, sehingga literasi tidak lagi terasa membosankan.
Membangun budaya literasi di sekolah bukanlah proses instan. Diperlukan komitmen bersama dari seluruh elemen pendidikan guru, kepala sekolah, orang tua, dan pemerintah. Literasi harus dipahami sebagai alat penting untuk membentuk generasi yang kritis, kreatif, dan cinta ilmu pengetahuan.
Keberhasilan program literasi bukan hanya dilihat dari seberapa banyak buku yang dibaca, tetapi dari seberapa dalam siswa mampu memahami, menganalisis, dan menerapkan informasi yang mereka peroleh dalam kehidupan nyata.
Ketika kegiatan literasi di sekolah dirancang secara tepat, didukung oleh sumber daya yang memadai, serta dilaksanakan secara konsisten, maka sekolah akan menjadi tempat tumbuhnya generasi pembelajar sejati. Generasi yang tidak hanya mampu membaca teks, tetapi juga mampu membaca dunia dan menghadapi tantangan masa depan dengan pemikiran yang tajam dan reflektif.





