Guru adalah pilar penting dalam pembentukan karakter dan masa depan generasi muda. Namun, beberapa tahun terakhir, tugas mulia ini kerap terhambat oleh konflik antara guru, siswa, dan orang tua, yang sering kali berujung pada kasus hukum. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran mendalam tentang batas kewenangan guru dalam mendidik serta perlindungan hukum yang memadai bagi mereka.
Kasus-kasus hukum yang melibatkan guru dan siswa di Indonesia menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan untuk merefleksikan ulang pendekatan etika, profesionalisme, dan mekanisme penyelesaian konflik. Salah satu contoh nyata adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer yang pada 2024 menghadapi tuduhan menganiaya seorang siswa, anak seorang anggota polisi.
Kasus ini semakin rumit karena ia mengalami teror berupa penembakan mobil yang ditumpanginya. Peristiwa tersebut menunjukkan risiko besar yang dihadapi guru saat berhadapan dengan siswa dari keluarga berpengaruh.
Kasus lain terjadi pada Agustus 2023 di Bengkulu, ketika seorang guru kehilangan penglihatan akibat serangan orang tua siswa dengan ketapel. Insiden itu bermula dari teguran guru terhadap perilaku siswa yang tidak disiplin. Pada 2016, kasus serupa menimpa Sambudi, seorang guru yang disidang karena mencubit siswa dengan tujuan mendisiplinkan.
Namun, tindakan tersebut dianggap melampaui batas oleh orang tua siswa. Terakhir, pada Mei 2024, seorang guru di Mojokerto bernama Khusnul Khotimah dijatuhi hukuman setelah orang tua siswa melaporkan dugaan kelalaian.
Dalam banyak kasus, guru menjadi pihak yang terpojok sebelum proses hukum selesai. Reaksi masyarakat yang cenderung emosional dan kurang memahami konteks sering kali memperburuk situasi. Ketika satu kasus menjadi viral, guru lain merasa takut bertindak tegas karena risiko hukum dan sosial yang mungkin muncul.
Di sisi lain, ada juga orang tua siswa yang merasa perlakuan guru terhadap anak mereka bersifat sewenang-wenang. Paradigma masyarakat yang lebih melindungi anak tanpa memahami konteks pendidikan semakin memperparah situasi ini.
Salah satu penyebab utama konflik adalah minimnya perlindungan hukum bagi guru. Hingga kini, belum ada regulasi spesifik yang memberikan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas, terutama saat harus mendisiplinkan siswa.
Komunikasi yang lemah antara guru dan orang tua juga menjadi penyebab konflik. Kurangnya dialog yang sehat sering kali memunculkan salah paham, sehingga tindakan guru disalahartikan sebagai kekerasan.
Baca Juga: Persaingan Bisnis: Batas Tipis antara Kreativitas, Plagiarisme, dan Inovasi
Selain itu, kesenjangan pemahaman tentang disiplin antara guru dan orang tua sering kali menjadi pemicu masalah. Pendekatan tegas dalam mendidik kerap disalahartikan sebagai tindakan yang melanggar hak anak. Minimnya penghargaan terhadap profesi guru, khususnya guru honorer, turut memperburuk situasi. Dengan beban kerja berat dan tekanan ekonomi, guru sering kali rentan secara psikologis dan fisik.
Untuk mengurangi konflik ini, perlu diambil langkah-langkah konkret. Pertama, peningkatan komunikasi antara sekolah dan orang tua sangat penting. Sekolah harus rutin mengadakan pertemuan untuk membangun pemahaman bersama mengenai tata cara mendidik siswa secara optimal.
Kedua, guru perlu pelatihan pengelolaan konflik yang dapat membantu mereka mengatasi permasalahan tanpa memicu risiko hukum. Pelatihan ini harus mencakup keterampilan komunikasi yang efektif.
Ketiga, edukasi publik tentang disiplin dalam pendidikan perlu dilakukan secara masif. Masyarakat perlu memahami bahwa disiplin adalah bagian penting dari pembentukan karakter siswa. Dengan pemahaman yang tepat, masyarakat tidak akan lagi memandang tindakan tegas guru sebagai bentuk kekerasan. Keempat, perlu ada fasilitas laporan aduan di sekolah yang memungkinkan penyelesaian konflik secara internal sebelum sampai ke ranah hukum.
Baca Juga: Pengaruh Boycott Produk Pro-Israel: Ancaman pada Ekonomi dan Pendidikan di Indonesia
Guru memainkan peran yang sangat vital dalam menciptakan generasi muda yang berkualitas. Sayangnya, posisi mereka sering kali berada di persimpangan. Ketika mendisiplinkan siswa, guru berisiko dianggap melanggar hukum.
Sebaliknya, jika membiarkan perilaku buruk siswa, mereka dianggap tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini menempatkan guru dalam tekanan besar, terutama dengan minimnya perlindungan hukum dan dukungan dari masyarakat.
Kasus-kasus hukum antara guru dan siswa mencerminkan tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia. Ketika guru merasa tidak terlindungi, kualitas pendidikan terancam menurun. Oleh karena itu, semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga masyarakat, harus bekerja sama menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, adil, dan kondusif.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan penghargaan terhadap peran guru adalah fondasi bagi masa depan generasi penerus bangsa. Dengan melindungi guru, kita melindungi masa depan bangsa.





