Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat. Dari Sabang hingga Merauke, tiap daerah memiliki warisan budaya yang unik, yang tak hanya menjadi identitas daerah tetapi juga menjadi perekat kebangsaan.
Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Tradisi Sedekah Bumi di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Keunikan dari tradisi ini terletak pada pelaksanaannya yang dilakukan tiga kali dalam setahun, sebuah kebiasaan yang tidak banyak ditemukan di desa lain.
Tradisi Sedekah Bumi merupakan bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang melimpah serta kehidupan yang aman dan sejahtera. Selain itu, tradisi ini menjadi momen spiritual untuk mengenang jasa para leluhur dan tokoh desa yang dihormati.
Di Desa Tanjungrejo, seluruh elemen masyarakat terlibat aktif dalam acara ini, mulai dari kepala desa, tokoh agama, hingga warga biasa. Partisipasi kolektif ini menunjukkan kuatnya rasa kebersamaan dan nilai gotong royong yang terus dijaga oleh masyarakat.
Yang membuat tradisi ini berbeda adalah waktu pelaksanaannya yang tidak hanya dilakukan sekali, tetapi tiga kali dalam satu tahun dan di tiga lokasi yang berbeda. Waktu pelaksanaannya didasarkan pada penanggalan Jawa, yakni pada hari Jumat Pon, Jumat Kliwon, dan Jumat Paing yang jatuh dalam bulan yang sama dan secara berurutan.
Lokasi pelaksanaannya dimulai dari Makam Singonolo pada Jumat Pon, kemudian berlanjut ke Makam Kedung Bunder pada Jumat Kliwon, dan terakhir di Makam Bekuk pada Jumat Paing. Ketiganya dipercaya memiliki nilai spiritual tinggi bagi masyarakat setempat.
Masyarakat biasanya mulai bersiap menjelang datangnya bulan tersebut dengan menentukan tanggal pelaksanaan. Hal ini tidak selalu jatuh pada tanggal yang sama setiap tahunnya, sebab mengikuti kalender Jawa yang bersifat lunar. Tradisi ini sekaligus menjadi sarana mempererat hubungan dengan alam dan para pendahulu, seakan ada komunikasi batin antara generasi masa kini dan masa lalu.
Perkembangan zaman turut memengaruhi cara pelaksanaan tradisi ini. Jika dahulu pelaksanaan Sedekah Bumi hanya berupa membawa ambeng—yakni nasi beserta lauk pauk yang ditata dalam wadah besar dan kemudian didoakan oleh modin desa—kini acara tersebut telah berkembang lebih religius dan meriah.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ini kini melibatkan para kyai dan santri. Malam sebelum hari pelaksanaan, warga menggelar khataman Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama menggunakan ambeng. Keesokan paginya, warga kembali berkumpul untuk mengadakan tahlilan dan doa bersama, serta berbagi ambeng yang telah dibawa masing-masing keluarga.
Kepercayaan terhadap tradisi ini tidak hanya didasarkan pada nilai budaya, tetapi juga pada kisah-kisah turun-temurun yang memperkuat alasan pelestariannya. Konon, dahulu pernah terjadi musibah di desa ketika masyarakat lupa melaksanakan Sedekah Bumi.
Dikisahkan, muncul seekor makhluk menyerupai harimau yang menyebabkan kekacauan, termasuk merusak rumah salah satu tokoh desa. Meskipun tidak semua masyarakat meyakini cerita tersebut secara harfiah, namun mereka tetap menjalankan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai upaya menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan yang gaib.
Masyarakat Desa Tanjungrejo memiliki komitmen kuat untuk terus melestarikan tradisi ini. Mereka menyadari bahwa Sedekah Bumi bukan sekadar ritual rutin tahunan, tetapi juga sarana memperkuat identitas dan menjaga kesinambungan nilai-nilai luhur di tengah arus modernisasi.
Dalam tradisi ini, anak-anak dan generasi muda turut dilibatkan agar mereka mengenal dan memahami akar budaya mereka sendiri. Harapannya, tradisi ini akan tetap hidup dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat di masa mendatang.
Lebih dari itu, pelaksanaan Sedekah Bumi menjadi wujud nyata dari penghayatan spiritual masyarakat terhadap kehidupan. Dalam suasana khusyuk dan penuh kebersamaan, mereka memanjatkan doa-doa agar desa senantiasa aman, tenteram, dan diberkahi.
Doa itu bukan hanya untuk kesejahteraan individu, melainkan juga untuk kebaikan seluruh warga desa. Melalui acara ini pula, tercipta ruang dialog antarwarga, penguatan solidaritas sosial, serta semangat untuk saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari.
Keunikan dan kekuatan tradisi Sedekah Bumi di Desa Tanjungrejo menjadi inspirasi bahwa kearifan lokal adalah warisan budaya yang patut dijaga dan dirawat. Di tengah arus globalisasi dan modernitas yang kian deras, tradisi ini menjadi penanda bahwa masyarakat masih memiliki akar yang kuat terhadap budaya dan nilai-nilai leluhur. Tradisi ini bukan sekadar perayaan masa lalu, tetapi juga investasi budaya bagi masa depan.





