Tahun 2045 akan menjadi tonggak sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Seratus tahun setelah kemerdekaan, kita menatap cita-cita besar: mewujudkan Indonesia Emas. Sebuah negara maju dengan sumber daya manusia unggul yang mampu bersaing di panggung global.
Namun, pertanyaan mendasarnya masih menggema: apakah sistem pendidikan kita, terutama kurikulumnya, sudah siap mencetak generasi abad ke-21?
Kehadiran Kurikulum Merdeka sejatinya membawa harapan baru. Kurikulum ini berupaya menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, memberi ruang bagi kreativitas, dan membekali mereka dengan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan inovasi. Secara konsep, rancangan ini tampak menjanjikan.
Sayangnya, di lapangan, penerapannya belum seindah yang dibayangkan. Banyak guru yang masih kebingungan dalam mengimplementasikan pendekatan baru karena pelatihan yang mereka terima belum optimal.
Di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), akses internet masih menjadi kemewahan. Proses belajar di banyak sekolah pun belum banyak berubah guru berceramah, murid mencatat, dan hafalan menjadi ukuran utama keberhasilan. Padahal, generasi masa depan membutuhkan ruang eksplorasi, bukan sekadar menghafal teori tanpa konteks.
Inilah tantangan terbesar dunia pendidikan kita. Kurikulum yang modern tidak akan berarti banyak jika tidak diiringi dengan ekosistem pendidikan yang mendukung. Guru, infrastruktur, hingga budaya belajar harus ikut berevolusi.
Langkah pertama yang mendesak adalah penguatan kapasitas guru. Pelatihan tidak bisa lagi sekadar seminar singkat, tetapi harus menjadi proses berkelanjutan yang membentuk guru sebagai fasilitator pembelajaran sejati. Kedua, pemerataan akses digital wajib menjadi prioritas nasional.
Tidak akan ada Indonesia Emas jika internet hanya lancar di kota besar sementara desa tertinggal dalam keterbatasan. Ketiga, materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan konteks lokal, agar siswa tidak hanya menjadi penghafal teori nasional, melainkan juga agen perubahan di lingkungannya.
Lebih dari itu, pendidikan bukan hanya urusan pemerintah atau sekolah semata. Ini adalah kerja kolektif yang melibatkan orang tua, masyarakat, dunia usaha, hingga lembaga sosial. Sinergi semua pihak menjadi kunci agar visi Indonesia Emas tidak berhenti sebagai slogan.
Kurikulum Merdeka memang membawa arah perubahan yang lebih progresif, tetapi keberhasilannya sangat ditentukan oleh bagaimana ia dijalankan dan oleh siapa ia dijalankan. Semua anak Indonesia tanpa terkecuali berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang, di mana pun mereka berada.
Visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya tentang kemajuan ekonomi atau teknologi, tetapi tentang memastikan setiap anak bangsa memiliki masa depan yang layak dan kesempatan untuk menjadi manusia yang merdeka belajar.
Jika kita benar-benar serius, maka pendidikan tidak boleh lagi menjadi cerita tentang kesenjangan, melainkan kisah tentang kesempatan kesempatan bagi setiap anak Indonesia untuk menyongsong abad ke-21 dengan percaya diri dan kesiapan penuh.