Platform TikTok kembali menghadirkan fenomena baru dalam lanskap hiburan digital: mikrodrama Cina. Fenomena ini merebak cepat pada awal 2025 dan dengan segera menjadi konsumsi harian para pengguna media sosial, terutama generasi muda.
Formatnya sederhana: episode berdurasi 1 hingga 3 menit, namun dipenuhi konflik dramatis yang padat, emosional, dan serba cepat. Kombinasi ini menjadi daya tarik tersendiri, menciptakan pola konsumsi hiburan baru yang menuntut imersi cepat namun berkepanjangan.
Tema yang ditawarkan dalam mikrodrama ini sebagian besar berputar di seputar kisah cinta klise—terhalang kasta sosial, pertikaian keluarga, hingga pernikahan kontrak. Meskipun plot-nya terdengar repetitif, justru inilah yang menjadikannya “menghipnotis”.
Fenomena ini bukan hanya menggambarkan perubahan cara menikmati hiburan, melainkan juga mencerminkan pergeseran pola pikir konsumsi masyarakat yang semakin terbiasa dengan instant gratification, yaitu kepuasan instan yang datang tanpa usaha panjang dan mendalam.
“Saya awalnya cuma iseng nonton satu episode karena lewat di iklan FYP TikTok, tapi lama kelamaan malah jadi nyari kelanjutannya di YouTube, jadi keterusan,” ujar Naja (21), seorang pengguna TikTok yang akhirnya menonton puluhan episode hanya dalam satu hari.
Testimoni seperti ini memperlihatkan bagaimana konten ringan yang berulang justru berpotensi menciptakan kecanduan. Dalam konteks inilah istilah brainrot menjadi relevan—yakni kondisi di mana seseorang terus-menerus mengonsumsi hiburan ringan, dangkal, namun menyita waktu dan menguras kapasitas berpikir kritis.
Tak dapat dipungkiri bahwa algoritma TikTok berperan besar dalam menyuburkan fenomena ini. Ketika seorang pengguna menyelesaikan satu video mikrodrama, sistem secara otomatis menyarankan konten sejenis, sering kali dengan cerita yang hampir identik. Ini bukan sekadar personalisasi konten; ini adalah penciptaan siklus konsumsi yang sulit diputus.
Lebih dari itu, banyak episode mikrodrama tidak dipublikasikan secara lengkap oleh satu akun. Sebaliknya, episode-episode tersebut tersebar di berbagai akun dan platform lain seperti YouTube atau Facebook Watch, memaksa penonton untuk “berburu” lanjutan cerita.
Proses ini membuat pengguna semakin tersedot dalam waktu yang panjang tanpa disadari, dan pada akhirnya mengorbankan kualitas waktu pribadi demi tontonan yang tidak substansial.
Kritik terhadap kualitas mikrodrama Cina juga mengemuka. Banyak yang mempertanyakan akting para aktor, pengembangan karakter yang dangkal, hingga alur yang terlalu dipaksakan. Namun, justru dalam dalih sebagai “hiburan ringan”, jebakan brainrot tersembunyi.
Ketika konten dangkal menjadi konsumsi harian, maka lambat laun kemampuan penonton untuk menikmati tayangan yang lebih kompleks dan artistik pun akan memudar.
Lebih mengkhawatirkan lagi, masyarakat mulai menurunkan standar kualitas tontonan. Yang penting seru, dramatis, dan mudah diikuti. Aspek naratif dan seni visual yang seharusnya mendapat apresiasi kini terkikis oleh dominasi tontonan cepat saji.
Fenomena ini menegaskan bahwa TikTok tak hanya sekadar tempat hiburan. Ia telah menjadi saluran distribusi drama yang tidak konvensional, dan pada saat yang sama menyuburkan budaya konten repetitif dan konsumsi pasif.
Dalam konteks ini, penting bagi kita sebagai pengguna untuk memiliki kesadaran kritis: apakah waktu yang kita habiskan benar-benar memberi hiburan yang berkualitas, atau justru menjerumuskan kita dalam siklus konten yang melelahkan mental?
Tidak semua yang viral layak untuk diikuti tanpa batas. Dalam dunia digital yang serba cepat dan penuh distraksi, kemampuan untuk memilih tontonan yang bernilai adalah bekal penting agar kita tidak tenggelam dalam kebisingan visual yang miskin makna.





