Parlemen Bukan Ajang Popularitas: Saatnya Mengutamakan Kapasitas

Menggambarkan paradoks ketika panggung politik lebih dipenuhi oleh sorotan kamera ketimbang suara rakyat. (GG)
Menggambarkan paradoks ketika panggung politik lebih dipenuhi oleh sorotan kamera ketimbang suara rakyat. (GG)

Dalam setiap pemilihan legislatif, kita kembali disuguhi pemandangan yang semakin lazim: nama-nama dari dunia hiburan bermunculan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Para figur publik dari televisi, media sosial, dan panggung hiburan dengan mudah masuk ke dalam daftar calon legislatif. Bermodalkan popularitas, banyak dari mereka yang sukses meraup suara, bahkan mengamankan kursi di parlemen.

Tentu, dalam negara demokrasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam kontestasi politik, termasuk para selebritas. Tidak ada larangan bagi mereka untuk maju sebagai calon wakil rakyat.

Bacaan Lainnya

Bahkan, beberapa di antaranya terbukti mampu bekerja secara serius dan konsisten dalam mengemban tugas. Akan tetapi, yang patut dikritisi adalah ketika pertimbangan utama dalam memilih bukanlah kapasitas, integritas, atau rekam jejak, melainkan semata-mata karena popularitas.

Parlemen bukanlah panggung hiburan. Ia merupakan institusi penting yang bertanggung jawab dalam menyusun undang-undang, mengawasi anggaran negara, serta mengontrol kebijakan pemerintah.

Fungsi-fungsi ini membutuhkan kemampuan berpikir kritis, pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu publik, serta keterampilan dalam bernegosiasi dan bekerja sama di lingkungan politik yang kompleks. Modal ketenaran tidak akan cukup untuk menjalankan tanggung jawab besar ini secara efektif.

Fenomena keterlibatan artis dalam politik sebenarnya bukan hal baru. Namun, tren yang menunjukkan peningkatan jumlah selebritas yang masuk parlemen seharusnya menjadi perhatian serius. Data dari Kompas.com (20 Maret 2024) mencatat bahwa sebanyak 22 artis diprediksi lolos ke DPR RI untuk periode 2024–2029. Lebih lanjut, sebagian besar dari mereka merupakan wajah baru dalam dunia legislatif, yang tentu belum memiliki pengalaman atau pemahaman mendalam tentang mekanisme kerja parlemen.

Kenyataannya, tidak semua seniman yang terpilih mampu menunjukkan kinerja yang memadai. Beberapa di antaranya tercatat jarang hadir dalam sidang, minim berkontribusi dalam rapat komisi, bahkan lebih sering tampil di media sosial ketimbang menyuarakan aspirasi rakyat dalam forum formal. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana keseriusan dan kesiapan mereka dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.

Jika praktik ini terus dibiarkan tanpa penyaringan yang cermat, maka parlemen bisa kehilangan kepercayaan publik dan semakin tergerus fungsinya sebagai institusi yang menjembatani suara masyarakat.

Sebab itu, politik harus dibangun di atas fondasi kompetensi, bukan popularitas semata. Masyarakat butuh perwakilan yang mampu memahami dan memperjuangkan isu-isu publik secara substansial, bukan hanya menghadirkan sosok yang terkenal.

Untuk memperbaiki situasi ini, peran partai politik menjadi sangat krusial. Mereka harus berani menolak pendekatan pragmatis yang hanya mengejar suara semata. Penetapan calon legislatif semestinya didasarkan pada kriteria yang lebih objektif, seperti kapasitas intelektual, pengalaman sosial-politik, serta komitmen terhadap kepentingan rakyat.

Di sisi lain, masyarakat juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi pemilih yang kritis. Kita perlu membiasakan diri membaca latar belakang calon, memahami visi-misi mereka, serta mengevaluasi rekam jejak yang dimiliki.

Bukan berarti selebritas tidak boleh terlibat dalam politik. Mereka bisa berkontribusi, asalkan memiliki kesiapan dan kesungguhan dalam menjalankan fungsi legislasi. Ketenaran semestinya hanya menjadi nilai tambah, bukan satu-satunya alasan untuk dipilih. Demokrasi Indonesia akan semakin kuat jika parlemen diisi oleh individu-individu yang mumpuni, berintegritas, dan benar-benar memahami tanggung jawab sebagai wakil rakyat.

Dengan demikian, sudah saatnya kita berhenti melihat politik sebagai ajang popularitas belaka. Kita membutuhkan parlemen yang berisi sosok-sosok yang bisa memperjuangkan kepentingan rakyat dengan cerdas dan berani, bukan sekadar wajah-wajah terkenal yang hanya memanfaatkan demokrasi sebagai jalan pintas menuju kekuasaan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *