Peran Orang Tua dalam Mengatasi Patologi Sosial Anak di Surabaya

Ilustrasi Peran Orang Tua dalam Mengatasi Patologi Sosial Anak di Surabaya (penulis)
Ilustrasi Peran Orang Tua dalam Mengatasi Patologi Sosial Anak di Surabaya (penulis)

Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus pusat metropolitan yang maju, tidak hanya dikenal sebagai kota perdagangan, pendidikan, dan budaya, tetapi juga menghadapi tantangan sosial yang cukup kompleks.

Perubahan kehidupan perkotaan yang berlangsung begitu cepat, arus globalisasi yang semakin deras, hingga perkembangan teknologi digital yang kian canggih, telah membawa dampak besar bagi masyarakat. Generasi muda khususnya anak-anak dan remaja berada dalam situasi yang rentan, di mana perubahan sosial tersebut dapat memicu munculnya berbagai bentuk patologi sosial.

Bacaan Lainnya

Fenomena patologi sosial pada anak-anak di Surabaya cukup beragam. Salah satu yang paling menonjol adalah budaya konsumtif. Anak-anak sering kali kesulitan membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.

Dorongan dari media sosial, rasa takut ketinggalan tren (FOMO), hingga kebutuhan akan validasi dari lingkungan sekitar membuat mereka mudah terjebak dalam perilaku konsumtif. Dampak yang ditimbulkan tidak ringan, mulai dari potensi terjerat utang, stres, hingga depresi karena merasa tidak mampu memenuhi standar gaya hidup tertentu.

Selain budaya konsumtif, perundungan atau bullying juga menjadi masalah serius. Perundungan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis, biasanya muncul karena rendahnya rasa empati, pengaruh lingkungan yang permisif, atau kebiasaan menormalisasi kekerasan. Korban perundungan sering kali mengalami trauma mendalam, kehilangan fokus belajar, bahkan dalam kasus ekstrem dapat muncul keinginan untuk mengakhiri hidup.

Tidak kalah penting, pergaulan bebas juga menjadi fenomena yang kian marak. Akses terhadap internet yang luas membuat anak-anak terpapar pada nilai-nilai baru yang terkadang bertentangan dengan norma moral dan budaya lokal.

Hubungan intim di luar nikah, penggunaan alkohol, hingga keterlibatan dalam narkoba sering dianggap hal yang wajar oleh sebagian anak muda karena pengaruh lingkungan sekitar. Dampaknya pun bisa fatal, mulai dari kehamilan di usia muda, putus sekolah, hingga tekanan psikologis yang berujung depresi berkepanjangan.

Penyalahgunaan narkoba juga tidak bisa diabaikan. Rasa penasaran, tekanan dari teman sebaya, hingga minimnya pengawasan orang tua membuat anak mudah terjerumus. Dampak narkoba begitu luas, tidak hanya merusak kesehatan fisik dan mental, tetapi juga memutus masa depan anak karena kehilangan kesempatan belajar dan bekerja. Bahkan, dalam banyak kasus, keterlibatan narkoba mendorong anak melakukan tindakan kriminal demi mempertahankan kebiasaannya.

Selain itu, kenakalan remaja seperti tawuran, merokok, minum minuman keras, hingga merusak fasilitas umum masih sering terjadi di Surabaya. Faktor internal seperti ketidakmampuan mengendalikan diri atau identitas diri yang belum jelas, berpadu dengan faktor eksternal seperti kurangnya perhatian orang tua, pola asuh yang salah, dan pengaruh lingkungan negatif, menjadi pemicu utama.

Kenakalan remaja tidak hanya merugikan diri mereka sendiri, tetapi juga berdampak buruk pada masyarakat luas melalui hilangnya rasa aman dan terganggunya ketertiban sosial.

Dari fenomena tersebut, pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) telah menyediakan rumah perlindungan anak.

Tempat ini menjadi wadah rehabilitasi bagi anak-anak yang terjaring razia karena terlibat dalam perilaku menyimpang, seperti balapan liar, ngelem, seks bebas, atau minum minuman keras di bawah umur. Namun, dari hasil wawancara dengan beberapa anak binaan, terungkap bahwa sebagian besar dari mereka terjerumus karena minimnya perhatian orang tua.

Ada yang mengaku rindu kasih sayang keluarga, ada yang ditinggal orang tua sejak kecil, hingga ada yang merasa dibiarkan bebas tanpa arah. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun pemerintah menyediakan fasilitas rehabilitasi, akar persoalan tetap kembali pada peran keluarga, khususnya orang tua.

Peran Orang Tua dalam Mengatasi Patologi Sosial Anak

Peran orang tua dalam mencegah dan mengatasi patologi sosial anak sangatlah vital. Lingkungan keluarga adalah fondasi utama pembentukan karakter seorang anak. Jika keluarga gagal memberikan perhatian, pendidikan, dan kasih sayang, maka besar kemungkinan anak akan mencari pengganti di luar, yang sering kali menjerumuskan mereka ke dalam pergaulan salah.

Langkah pertama yang harus dilakukan orang tua adalah mengenalkan anak pada konsep patologi sosial. Anak perlu memahami sejak dini apa saja bentuk perilaku menyimpang, dampak yang ditimbulkan, dan bagaimana cara menghindarinya.

Edukasi ini sebaiknya diberikan secara bertahap sesuai usia anak, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Namun, orang tua juga harus menyadari bahwa keluarga sendiri tidak boleh menjadi sumber trauma bagi anak. Kekerasan dalam rumah tangga, pertengkaran orang tua, atau sikap acuh tak acuh justru dapat mendorong anak meniru perilaku negatif.

Selain itu, pendidikan moral dan agama perlu ditanamkan secara konsisten. Orang tua bukan hanya bertugas memberi makan dan pakaian, tetapi juga harus menjadi teladan dalam nilai-nilai kehidupan. Ajakan untuk berbuat baik, disiplin, serta menjalani ajaran agama akan menjadi benteng kuat bagi anak dalam menghadapi godaan dunia luar.

Komunikasi efektif juga tidak kalah penting. Orang tua sebaiknya tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga emosional. Anak harus merasa bahwa mereka bisa berbicara terbuka tanpa takut dihakimi. Dengan dialog yang hangat, orang tua bisa lebih memahami kondisi anak, memberikan solusi bersama, dan menciptakan suasana yang penuh kepercayaan. Hal ini sangat penting di era generasi Z saat ini, di mana keterbukaan menjadi salah satu kebutuhan utama anak-anak dalam menjalin hubungan dengan orang tua.

Pengawasan juga menjadi tugas yang tidak bisa diabaikan. Orang tua perlu mengetahui aktivitas anak, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan bermain. Penggunaan gadget dan media sosial harus dipantau, karena dunia digital menyimpan banyak risiko.

Meski demikian, pengawasan tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Anak yang merasa terlalu dikekang justru akan mencari cara untuk melawan, bahkan bisa menyembunyikan kebenaran dari orang tuanya.

Kasih sayang juga merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Banyak kasus anak yang terjerumus dalam patologi sosial karena merasa kurang diperhatikan. Orang tua harus hadir sebagai tempat berlindung, memberikan rasa aman, penghargaan, dan dukungan tanpa syarat. Kasih sayang yang tulus akan memperkuat ikatan emosional sehingga anak tidak merasa perlu mencari pengganti di luar.

Pendidikan disiplin juga perlu ditanamkan sejak kecil. Namun, cara mendidik disiplin harus dilakukan secara demokratis, bukan otoriter atau permisif. Anak perlu belajar bertanggung jawab, mengambil keputusan secara bijak, dan memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Dengan begitu, mereka akan lebih siap menghadapi kehidupan bermasyarakat.

Terakhir, kerja sama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat juga penting. Guru, tetangga, bahkan konselor dapat menjadi mitra dalam memantau perkembangan anak. Jika anak mulai menunjukkan tanda perilaku menyimpang, komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah atau masyarakat bisa menjadi jalan keluar yang efektif sebelum masalah semakin membesar.

Penutup

Melihat fenomena yang terjadi di Surabaya, jelas bahwa peran orang tua sangat menentukan masa depan anak-anak. Pemerintah memang telah menyediakan fasilitas rehabilitasi, tetapi itu hanya solusi sementara.

Pencegahan yang paling utama harus dimulai dari rumah. Dengan kasih sayang, komunikasi terbuka, pengawasan yang bijak, serta pendidikan moral yang konsisten, orang tua dapat melindungi anak-anak mereka dari jurang patologi sosial.

Surabaya adalah kota besar dengan dinamika sosial yang begitu cepat. Anak-anak adalah aset masa depan yang harus dijaga, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi terutama oleh keluarga.

Tanpa keterlibatan orang tua yang aktif, upaya mengatasi masalah sosial hanya akan menjadi tambal sulam tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *