Konsep negara telah menjadi topik diskusi yang mendalam dalam ranah pemikiran politik dan filsafat, baik dari perspektif Barat maupun ilmuwan Muslim. Keduanya memiliki pandangan yang unik dalam merumuskan nilai-nilai dan fungsi negara.
Dalam tradisi Barat, konsep negara sering didefinisikan sebagai entitas yang berfungsi untuk melindungi hak individu, menjamin kebebasan, dan menerapkan demokrasi liberal. Sebaliknya, ilmuwan Muslim memandang negara sebagai instrumen untuk menegakkan keadilan dan moralitas berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Para pemikir Barat cenderung menempatkan negara sebagai institusi yang bertumpu pada kontrak sosial. Konsep ini menekankan bahwa negara ada untuk melayani masyarakat dengan melindungi hak-hak individu, seperti kebebasan berekspresi, hak milik, dan keadilan hukum.
Demokrasi liberal, hak asasi manusia, dan sekularisme menjadi pilar utama dalam pandangan ini. Ide-ide tersebut sering kali berakar pada rasionalitas dan empirisme, di mana pengalaman sejarah menjadi landasan untuk menciptakan kebijakan publik.
Salah satu tokoh pemikir Barat yang terkenal, George H. Smith (1949–2022), menegaskan bahwa negara adalah institusi yang mengklaim monopoli atas kekuatan koersif di suatu wilayah. Dalam pandangannya, negara sering menggunakan kekerasan dan eksploitasi sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Smith mengkritik legitimasi negara yang menurutnya dibangun melalui propaganda dan narasi bahwa keberadaan negara adalah “tak terhindarkan.” Ia percaya bahwa negara lebih sering menjadi alat dominasi kelompok elite daripada pelindung hak-hak masyarakat luas.
Smith juga menyoroti bagaimana negara menggunakan alat-alat koersif, seperti pajak dan hukum, untuk membatasi kebebasan individu. Bagi Smith, negara adalah ancaman terbesar bagi kebebasan, karena cenderung melayani kepentingan penguasa, bukan rakyat. Ia mempertanyakan apakah negara benar-benar berfungsi untuk melindungi hak individu atau malah menjadi sumber utama penindasan.
Berbeda dengan pemikir Barat, ilmuwan Muslim seperti Ibn Khaldun memandang negara sebagai kebutuhan alami bagi masyarakat. Ibn Khaldun, seorang filsuf dan sejarawan abad ke-14, menekankan bahwa negara (‘dawlah’) adalah instrumen untuk menjaga keteraturan sosial dan keseimbangan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, negara tidak hanya berfungsi sebagai entitas administratif, tetapi juga sebagai penjaga moralitas dan agama.
Baca Juga: Dampak Media Sosial terhadap Kebahasaan Masyarakat
Menurut Ibn Khaldun, negara muncul dari kebutuhan manusia untuk hidup dalam komunitas yang teratur. Tanpa adanya struktur pemerintahan yang kuat, masyarakat akan terjebak dalam kekacauan. Negara, bagi Ibn Khaldun, bertanggung jawab untuk mengatasi ketidakadilan, menjaga stabilitas ekonomi, dan melindungi masyarakat dari ancaman eksternal. Namun, ia juga menekankan bahwa keberlangsungan negara bergantung pada moralitas dan solidaritas sosial yang tinggi di antara pemimpin dan rakyatnya.
Ibn Khaldun juga memberikan perhatian besar pada peran pemimpin (‘umara’). Pemimpin ideal harus memiliki integritas moral, mematuhi prinsip-prinsip syariah, dan memastikan kesejahteraan rakyat. Agama, dalam pandangannya, adalah fondasi utama untuk menciptakan pemerintahan yang adil.
Negara yang dipimpin oleh pemimpin bermoral tinggi akan cenderung stabil dan makmur, sedangkan negara yang dipimpin oleh individu yang korup akan menuju kehancuran.
Dalam tradisi Islam, konsep syura (musyawarah) menjadi elemen penting dalam pengambilan keputusan negara. Prinsip ini mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan, namun tetap merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama.
Hal ini menciptakan keseimbangan antara partisipasi publik dan kepatuhan kepada hukum ilahi. Berbeda dengan demokrasi Barat yang menempatkan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat, Islam menekankan bahwa kedaulatan tertinggi adalah milik Allah.
Dengan konsep ini, negara dalam pandangan Islam tidak hanya berfungsi sebagai pengatur urusan publik, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai spiritual. Ini menandakan pendekatan yang lebih holistik dibandingkan pandangan sekuler di Barat, di mana negara sering kali terpisah dari urusan moral dan agama.
Baca Juga: Bahasa Gaul: Identitas dan Ekspresi Komunikasi Remaja
George H. Smith dan Ibn Khaldun memiliki pandangan yang kontras tentang negara. Smith melihat negara sebagai institusi koersif yang cenderung mengekang kebebasan individu. Ia memandang negara sebagai hasil dari kekerasan dan dominasi, yang sering digunakan untuk mempertahankan kepentingan kelompok elite. Kritik Smith terhadap negara mencakup bagaimana institusi ini dapat menjadi alat penindasan, yang sering kali tidak mencerminkan kehendak masyarakat umum.
Sebaliknya, Ibn Khaldun memandang negara sebagai kebutuhan alami yang berfungsi untuk menjaga harmoni sosial. Dalam pandangannya, negara adalah alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa stabilitas negara bergantung pada moralitas pemimpin dan solidaritas masyarakat. Tanpa nilai-nilai ini, negara akan mudah runtuh.
Meskipun perspektif mereka berbeda, baik Smith maupun Ibn Khaldun sepakat bahwa negara rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Smith mengkritik negara sebagai entitas yang merugikan kebebasan individu, sementara Ibn Khaldun memperingatkan bahwa negara akan hancur jika pemimpinnya tidak bermoral. Kedua pandangan ini relevan dalam memahami tantangan yang dihadapi negara modern, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas sosial.
Baca Juga: Ekspresi Generasi Z: Dari ‘Baper’ Menuju Isu ‘Burnout’
Dalam dunia yang semakin kompleks, pemikiran George H. Smith dan Ibn Khaldun tetap relevan. Pandangan Smith memberikan peringatan tentang bahaya negara yang terlalu dominan, yang dapat mengorbankan kebebasan individu demi kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pandangan Ibn Khaldun mengingatkan pentingnya moralitas dan agama dalam pemerintahan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Di era modern, negara sering kali dihadapkan pada dilema antara menjaga kebebasan individu dan menciptakan stabilitas sosial. Pendekatan holistik Ibn Khaldun dapat menjadi inspirasi untuk merancang kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada materialisme, tetapi juga pada nilai-nilai moral. Sebaliknya, kritik Smith dapat menjadi pengingat untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak menjadi alat penindasan.
Perbandingan konsep negara menurut pemikir Barat seperti George H. Smith dan ilmuwan Muslim seperti Ibn Khaldun memberikan wawasan yang kaya tentang politik dan pemerintahan. Smith menyoroti pentingnya membatasi kekuasaan negara demi melindungi kebebasan individu, sedangkan Ibn Khaldun menekankan perlunya moralitas dan agama dalam menjaga stabilitas negara.
Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa negara, dalam bentuk apa pun, harus selalu diawasi agar tidak menyimpang dari tujuan utamanya: melayani masyarakat dengan adil dan bermoral.





