Persepsi Publik Terhadap Anies Baswedan: Studi Kasus Ujaran Kebencian di Tiktok dan Instagram

Ilustrasi/safenet.or.id
Ilustrasi/safenet.or.id

Ujaran kebencian menjadi salah satu fenomena yang kian marak di era digital. Hal ini semakin terasa dalam konteks tokoh publik seperti Anies Baswedan. Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta dan salah satu calon presiden Indonesia, Anies menjadi sasaran berbagai bentuk kritik, termasuk ujaran kebencian yang disampaikan melalui platform media sosial seperti TikTok dan Instagram.

Artikel ini berupaya mengkaji akar penyebab, bentuk, dan dampak ujaran kebencian terhadap Anies, serta menggambarkan bagaimana fenomena ini mencerminkan tantangan sosial yang lebih luas di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Ujaran Kebencian di Media Sosial

Ujaran kebencian didefinisikan sebagai bentuk komunikasi yang bertujuan merendahkan, menyinggung, atau menyerang individu atau kelompok berdasarkan identitas sosial tertentu. Kusumasari dan Arifianto (2020) mengemukakan bahwa ujaran kebencian di media sosial sering kali berbentuk komentar yang diskriminatif atau menghina.

Menurut Delgado dan Stefancic (2001), ujaran kebencian dapat memicu tindak kekerasan atau diskriminasi terhadap targetnya. Pendapat serupa dikemukakan oleh Greenawalt (2009), yang menyatakan bahwa ujaran kebencian sering kali berupa penghinaan berbasis identitas, seperti agama, ras, atau orientasi seksual.

Pada kasus Anies Baswedan, ujaran kebencian sering muncul dalam bentuk komentar ofensif. Contoh yang mencolok dapat ditemukan pada komentar seperti “ANIES KONTOLLL, PENJILAT,” yang secara langsung menyerang martabat individu.

Komentar lain, seperti “Paling benci sama keluarganya apalagi bapaknya yang gaberes itu,” tidak hanya menyerang Anies sebagai individu tetapi juga merendahkan keluarganya. Penggunaan bahasa kasar dan penghinaan semacam ini menunjukkan upaya untuk menurunkan martabat seseorang secara emosional, melampaui kritik kebijakan atau tindakan yang sebenarnya.

Faktor Penyebab Ujaran Kebencian Terhadap Anies Baswedan

Beberapa faktor mendorong maraknya ujaran kebencian terhadap Anies Baswedan. Pertama, persaingan politik menjadi penyebab utama. Sebagai tokoh politik yang aktif, Anies sering menjadi target serangan lawan politik yang bertujuan mendiskreditkan posisinya. Perbedaan pandangan politik yang tajam memicu komentar-komentar negatif, terutama di platform media sosial yang memberikan ruang luas untuk ekspresi personal.

Baca Juga: Socrates, Plato, dan Thomas Aquinas: Perbandingan Pemikiran Filsafat di Dunia Barat Klasik dan Pertengahan

Kedua, kebijakan-kebijakan yang dianggap kontroversial selama masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta turut memancing kritik. Misalnya, kebijakan terkait penataan kota, transportasi, atau pengelolaan anggaran kerap menjadi perdebatan publik. Ketidakpuasan terhadap kebijakan ini sering kali diekspresikan dalam bentuk ujaran kebencian yang emosional dan tidak rasional.

Ketiga, polarisasi sosial di Indonesia juga memainkan peran signifikan. Masyarakat Indonesia yang sangat beragam cenderung terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan dalam pandangan politik dan sosial. Dalam konteks ini, serangan terhadap Anies sering kali digunakan sebagai cara untuk memperkuat identitas kelompok atau menunjukkan superioritas pandangan tertentu.

Keempat, karakteristik media sosial itu sendiri memfasilitasi munculnya ujaran kebencian. Anonimitas yang ditawarkan platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan pengguna menyampaikan komentar ofensif tanpa takut dikenali atau dihukum. Selain itu, dinamika media sosial yang cepat dan emosional sering kali mengabaikan dialog rasional dan memprioritaskan reaksi spontan, yang kerap berbentuk ujaran kebencian.

Dampak Ujaran Kebencian terhadap Anies Baswedan dan Masyarakat

Ujaran kebencian terhadap Anies Baswedan tidak hanya berdampak pada reputasi pribadi, tetapi juga memengaruhi kualitas diskursus publik di media sosial. Pertama, serangan yang bersifat personal merusak citra Anies sebagai tokoh publik, tidak hanya dalam hal kemampuan politik, tetapi juga dalam hal integritas pribadi. Serangan yang menyasar keluarganya memperburuk situasi, menciptakan gambaran negatif yang sulit diperbaiki.

Baca Juga: Thrifting vs UMKM: Menimbang Strategi Akuntansi Manajerial dalam Mendukung Daya Saing Lokal

Kedua, dampak psikologis terhadap individu yang menjadi target tidak dapat diabaikan. Serangan verbal yang terus-menerus dapat menimbulkan stres, kecemasan, atau bahkan trauma. Dalam kasus Anies, ujaran kebencian yang menyasar identitas dan keluarganya berpotensi memengaruhi stabilitas emosional, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga keluarganya.

Ketiga, di tingkat masyarakat, ujaran kebencian memperburuk polarisasi sosial. Komentar yang merendahkan pendukung Anies, seperti “Heran yang masih percaya sama ni orang,” menciptakan stigma terhadap kelompok tertentu, memperkuat perpecahan, dan menghambat dialog yang sehat. Polarisasi ini mempersulit upaya untuk mencapai konsensus dalam isu-isu politik atau sosial yang penting.

Keempat, di dunia digital, ujaran kebencian menciptakan ruang diskusi yang tidak sehat, di mana kritik konstruktif sulit muncul. Ketika komentar yang dominan diisi oleh kebencian dan penghinaan, peluang untuk berdialog secara rasional berkurang drastis. Akibatnya, media sosial menjadi tempat yang lebih sering memperkuat konflik daripada menyelesaikannya.

Meningkatkan Kualitas Diskusi di Media Sosial

Untuk mengatasi fenomena ini, langkah-langkah preventif perlu diterapkan. Pertama, edukasi literasi digital sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif ujaran kebencian. Literasi digital dapat membantu individu memahami pentingnya etika komunikasi di dunia maya dan menghindari komentar yang merusak.

Baca Juga: Akuntansi Manajerial sebagai Solusi untuk Ketidakakuratan Laporan Keuangan

Kedua, platform media sosial perlu mengembangkan kebijakan yang lebih ketat dalam menangani ujaran kebencian. Fitur seperti filter komentar dan laporan pelanggaran harus dioptimalkan untuk meminimalkan penyebaran konten negatif.

Ketiga, tokoh publik juga dapat berperan aktif dalam mengubah persepsi masyarakat. Dengan merespons kritik secara konstruktif dan menjaga komunikasi yang terbuka, tokoh seperti Anies dapat memberikan contoh bagaimana menghadapi ujaran kebencian dengan cara yang elegan dan profesional.

Keempat, di tingkat hukum, penerapan regulasi yang lebih jelas dan tegas terkait ujaran kebencian dapat memberikan efek jera bagi pelaku. Hukuman yang proporsional bagi pelaku ujaran kebencian dapat mengurangi insiden serupa di masa depan.

Kesimpulan

Ujaran kebencian terhadap Anies Baswedan di media sosial mencerminkan tantangan sosial yang lebih besar di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menghambat kualitas diskursus publik di ruang digital.

Dengan memahami faktor-faktor yang mendorong munculnya ujaran kebencian dan dampaknya, masyarakat dapat mengambil langkah-langkah untuk menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat dan inklusif.

Dalam jangka panjang, upaya kolektif untuk mempromosikan literasi digital, kebijakan media sosial yang lebih baik, dan regulasi yang tegas dapat membantu mengurangi dampak negatif fenomena ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *