Lingkungan hidup yang ideal adalah lingkungan yang mendukung kehidupan secara optimal, baik dari segi kesehatan, kesejahteraan, maupun keberlanjutan. Salah satu indikator lingkungan yang baik adalah kualitas suara yang nyaman dan tidak mengganggu pendengaran.
Suara dikategorikan nyaman jika tingkat kebisingannya tidak melampaui ambang batas yang telah ditentukan. Pemerintah Indonesia telah mengatur hal ini dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menekankan pentingnya pengendalian pencemaran lingkungan, termasuk polusi suara.
Polusi suara, atau sering disebut kebisingan, merupakan gangguan lingkungan yang diakibatkan oleh suara berlebihan sehingga merusak kenyamanan. Sumber kebisingan dapat bervariasi, mulai dari alat berat konstruksi, kendaraan bermotor, hingga aktivitas hiburan seperti konser atau karnaval. Dalam beberapa bulan terakhir, istilah Sound Horeg semakin populer di Indonesia.
Sound Horeg, sebuah istilah yang menggabungkan kata “sound” (suara) dalam bahasa Inggris dan “horeg” dari bahasa Jawa yang berarti bergetar, merujuk pada penggunaan sistem suara dengan intensitas tinggi. Aktivitas ini sering muncul dalam acara seperti karnaval, konser musik, atau festival, di mana suara yang dihasilkan menciptakan getaran hebat yang dapat dirasakan oleh pendengaran maupun lingkungan sekitar.
Bagi para penikmat, Sound Horeg memberikan sensasi yang menyenangkan karena efek “gegar” yang memacu adrenalin. Namun, bagi masyarakat sekitar, kegiatan ini kerap menimbulkan gangguan serius. Tingkat kebisingan yang melebihi ambang batas dapat merusak kenyamanan hidup, memengaruhi kesehatan, dan bahkan mengakibatkan kerusakan fisik pada struktur bangunan seperti dinding retak atau kaca pecah.
Sebagai gambaran, tingkat kebisingan Sound Horeg sering kali mencapai 135 dB, jauh di atas ambang batas aman untuk pendengaran manusia yang direkomendasikan, yaitu 85 dB untuk paparan maksimal delapan jam sehari.
Suara pada tingkat ini setara dengan mesin jet yang sedang beroperasi, yang hanya dapat ditoleransi selama beberapa menit sebelum berpotensi merusak indra pendengaran. Dampak ini menjadikan Sound Horeg sebagai salah satu bentuk polusi suara yang perlu segera ditangani.
Dalam kerangka hukum, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur tentang pencemaran lingkungan dan standar kualitas lingkungan hidup. Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa standar baku mutu lingkungan mencakup beberapa aspek, salah satunya adalah baku mutu gangguan.
Dalam konteks polusi suara, pengaturan lebih rinci dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Peraturan ini mengatur batas kebisingan maksimal di berbagai kawasan, seperti 55 dB untuk kawasan perumahan, 50 dB untuk ruang terbuka hijau, dan 60 dB untuk fasilitas umum.
Namun, Sound Horeg sering kali melanggar ambang batas ini, bahkan dalam acara-acara yang diadakan di lingkungan perumahan atau fasilitas umum. Pelanggaran terhadap aturan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan masyarakat sekitar dari segi kenyamanan dan kesehatan.
Polusi suara tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga merambah ke lingkungan laut. Aktivitas manusia seperti pelayaran, pengeboran minyak, dan bahkan kegiatan hiburan seperti Sound Horeg kini mulai diadakan di tengah laut. Contohnya adalah Sound Horeg di atas kapal di Pasuruan, yang menghasilkan tingkat kebisingan hingga 135 dB.
Baca Juga: Polusi Udara: Bom Waktu yang Mengintai Kota-Kota Besar
Dampak kebisingan ini sangat serius terhadap kehidupan biota laut, terutama mamalia seperti paus dan lumba-lumba yang bergantung pada gelombang suara untuk berkomunikasi dan bernavigasi. Gangguan suara dapat menyebabkan stres, mengubah pola migrasi, menurunkan tingkat reproduksi, hingga mengakibatkan kematian pada spesies tertentu. Polusi suara juga dapat memengaruhi ekosistem laut secara keseluruhan, terutama ketika spesies kunci seperti predator atau pembentuk habitat terganggu.
Sebagai salah satu upaya mengendalikan kebisingan dari Sound Horeg, Pemerintah Kabupaten Malang telah mengambil langkah tegas. Revisi Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum mengatur batasan intensitas suara maksimal hingga 60 dB.
Sebelumnya, aturan ini diperkenalkan melalui Surat Edaran Nomor: 200.1.1/9081/35.07.207/2023, yang mengatur tentang karnaval dan penggunaan sound system.
Namun, revisi perda ini mendapat penolakan dari komunitas Sound Horeg. Mereka berpendapat bahwa pembatasan intensitas suara akan meredam kreativitas dan semangat hiburan masyarakat. Sebagai respons, pemerintah setempat bekerja sama dengan Satpol PP, dinas kesehatan, dan dinas perhubungan untuk melakukan pengukuran intensitas suara secara langsung. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa intensitas suara Sound Horeg memang jauh melampaui ambang batas yang diizinkan.
Mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh Sound Horeg memerlukan pendekatan yang seimbang. Di satu sisi, masyarakat memiliki hak untuk menikmati hiburan, tetapi di sisi lain, hak atas lingkungan yang nyaman dan sehat juga harus dijaga. Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang ada, sekaligus memberikan edukasi kepada komunitas Sound Horeg tentang pentingnya pengendalian kebisingan.
Baca Juga: Triple Planetary Crisis: Tantangan Perubahan Iklim, Polusi, dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Alternatif teknologi seperti penggunaan sound system dengan kontrol intensitas suara yang lebih baik dapat menjadi solusi. Selain itu, penentuan lokasi kegiatan yang jauh dari kawasan perumahan juga perlu diprioritaskan. Dengan pendekatan yang kolaboratif, diharapkan semua pihak dapat menikmati hiburan tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Polusi suara akibat Sound Horeg telah menjadi tantangan serius di era modern. Dengan dampaknya yang meluas, baik di daratan maupun di laut, fenomena ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah, masyarakat, dan komunitas terkait.
Pengendalian intensitas suara, penguatan regulasi, serta edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara hiburan dan ketertiban lingkungan.





