Problematika Anak di Bawah Umur dan ‘Social Smoker’

Ilustrasi foto
Ilustrasi foto

Rokok menjadi salah satu isu kesehatan yang terus menjadi perbincangan di Indonesia. Sebelum membahas lebih dalam, kita perlu mengenal bahan utama rokok, yaitu tembakau. Tembakau adalah salah satu komoditas alam yang diperkenalkan di Nusantara oleh penjelajah Eropa dan kini Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen tembakau terbaik di dunia.

Namun, di balik sejarah panjang tembakau, dampak buruk rokok bagi kesehatan sudah tidak bisa dipungkiri. Rokok diindikasikan menjadi salah satu penyebab berbagai penyakit serius seperti paru-paru, jantung, stroke, hingga kanker.

Bacaan Lainnya

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada 2023 menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya adalah anak-anak berusia 10-18 tahun.

Angka ini mengkhawatirkan karena usia tersebut tergolong di bawah umur. Anak-anak seharusnya tidak memiliki akses untuk merokok, mengingat undang-undang telah mengatur usia legal untuk mengonsumsi rokok adalah 18 tahun ke atas.

Faktor utama yang menyebabkan anak-anak mulai merokok adalah pengaruh lingkungan. Pergaulan dengan teman-teman sebaya yang merokok seringkali menjadi pemicu. Selain perokok aktif dan pasif, muncul fenomena yang dikenal sebagai ‘social smoker’.

Menurut CNN Indonesia, social smoker adalah seseorang yang hanya merokok saat bersosialisasi dengan teman-teman, bukan pecandu rokok, tetapi tetap mengisap rokok di waktu tertentu untuk bersosialisasi. Meski tampak “ringan,” kebiasaan ini tetap berisiko karena rokok mengandung zat adiktif yang dapat menyebabkan kecanduan.

Baca Juga: Ruang Hijau di Tengah Beton: Pentingnya Ruang Terbuka untuk Kesehatan Mental di Perkotaan

Anak-anak di bawah umur sangat rentan menjadi social smoker. Pada usia 10-18 tahun, mereka mulai membangun hubungan sosial dengan teman sebaya di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Rasa penasaran, tekanan dari kelompok pertemanan, atau keinginan untuk terlihat “keren” sering menjadi alasan mereka mencoba merokok. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadikan rokok sebagai kebiasaan.

Fenomena ini diperparah dengan keberadaan acara-acara yang melibatkan anak muda, yang sering disponsori oleh merek-merek rokok. Konser musik, misalnya, menjadi salah satu ajang yang diminati remaja, tetapi sayangnya juga menjadi pintu masuk promosi rokok secara tidak langsung.

Walaupun ada anggapan bahwa menjadi social smoker dapat mempererat pergaulan, hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran. Dampak negatif dari merokok jauh lebih besar dibandingkan manfaat sosial yang dirasakan.

Anak di bawah umur yang merokok memiliki risiko lebih tinggi terkena berbagai penyakit serius di kemudian hari. Selain itu, perilaku ini juga dapat menciptakan stigma negatif dari masyarakat terhadap mereka.

Baca Juga: Belajar Memvalidasi Emosi dan Memberi Afirmasi Positif Melalui Lagu “Breathe” Milik LeeHi

Langkah preventif sangat diperlukan untuk menekan angka perokok di bawah umur. Salah satu solusi adalah mempersulit akses pembelian rokok bagi anak-anak. Penegakan hukum terhadap penjualan rokok kepada anak-anak harus lebih ketat, termasuk pemberian sanksi bagi penjual yang melanggar. Selain itu, edukasi tentang bahaya rokok perlu terus digencarkan, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.

Keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat, sangat penting dalam mengatasi masalah ini. Orang tua perlu memberikan pengawasan lebih terhadap pergaulan anak-anak mereka, sementara pemerintah harus memperkuat regulasi terkait iklan dan promosi rokok, terutama yang menyasar anak muda. Dengan langkah bersama, diharapkan angka perokok di bawah umur dapat ditekan, sehingga generasi mendatang memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *