Pungli di Dunia Pendidikan: Masalah yang Harus Segera Dituntaskan

Ilustrasi (Ainur Ochiem/RDR.BJN)
Ilustrasi (Ainur Ochiem/RDR.BJN)

Belakangan ini, kasus pungutan liar (pungli) di dunia pendidikan kembali mencuat. Berbagai laporan menunjukkan praktik pungli yang menyasar orang tua murid dengan dalih sumbangan sukarela. Ironisnya, sumbangan yang seharusnya bersifat sukarela sering kali berubah menjadi kewajiban yang memaksa, bertentangan dengan pengertian dasar sumbangan itu sendiri.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 44 Tahun 2012, pungutan diartikan sebagai penerimaan biaya pendidikan berupa uang, barang, atau jasa yang bersifat wajib dan mengikat.

Bacaan Lainnya

Pungutan ini dilakukan dengan jangka waktu tertentu dan ditentukan oleh satuan pendidikan. Sebaliknya, sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan yang sifatnya sukarela, tidak memaksa, dan tidak mengikat, baik dalam hal jumlah maupun waktu pemberiannya.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa batas antara pungutan dan sumbangan kerap disalahartikan. Data dari Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2023 yang diungkap oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebutkan bahwa lebih dari 44,86 persen sekolah dan 57,14 persen perguruan tinggi masih terlibat dalam praktik pungli.

Pungli biasanya ditandai dengan adanya paksaan untuk membayar iuran tertentu, ancaman konsekuensi jika tidak membayar, serta pengumpulan dana di luar prosedur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Tidak adanya transparansi terkait penggunaan dana tersebut menambah parah masalah ini. Dampaknya pun signifikan: dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki fasilitas sekolah atau meningkatkan kualitas pembelajaran malah disalahgunakan.

Baca Juga: Sosial Media dan Game Online: Dampaknya Bagi Pelajar

Faktor penyebab pungli beragam. Penyalahgunaan wewenang menjadi salah satu akar permasalahan. Selain itu, faktor mentalitas seperti kurangnya integritas dan kontrol diri, ditambah tekanan ekonomi akibat penghasilan yang tidak mencukupi, memperburuk situasi. Lemahnya sistem pengawasan juga menjadi celah yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan pungli.

Dampak dari pungli sangat merugikan banyak pihak, terutama siswa dan orang tua. Para siswa tidak mendapatkan fasilitas belajar yang memadai karena dana yang disalahgunakan. Lebih jauh, ketidakpercayaan antara orang tua dan pihak sekolah semakin menguat. Ketika kepercayaan rusak, kolaborasi antara sekolah dan orang tua dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif menjadi sulit terwujud.

Selain itu, pungli juga menambah beban ekonomi orang tua, terutama bagi keluarga kurang mampu. Data dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan bahwa pungli dapat menciptakan ketimpangan akses pendidikan. Siswa dari keluarga miskin menjadi korban utama yang terdampak, sehingga memperparah kesenjangan sosial di dunia pendidikan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan tindakan tegas dan komprehensif. Penegakan hukum sesuai Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus dilakukan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa siapa pun yang memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu dapat dikenakan hukuman penjara hingga sembilan tahun. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap satuan pendidikan agar praktik pungli dapat diminimalisasi.

Baca Juga: Peran Guru dalam Membangun Generasi Indonesia Emas di Era Digital

Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak sekolah menjadi kunci penting. Siswa, orang tua, dan guru perlu didorong untuk melaporkan praktik pungli tanpa rasa takut. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi identitas pelapor dan memberikan jaminan keamanan bagi mereka. Sosialisasi tentang bahaya pungli serta pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana sekolah juga harus terus digalakkan.

Masalah pungli tidak hanya soal penyalahgunaan dana, tetapi juga merusak integritas dunia pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, penanganan masalah ini harus menjadi prioritas semua pihak. Dengan penegakan hukum yang tegas dan kerjasama yang solid, diharapkan praktik pungli di dunia pendidikan dapat diberantas sehingga tercipta sistem pendidikan yang adil, merata, dan berkualitas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *