Revisi KUHAP: Pasal-Pasal Bermata Dua dan Bayang-Bayang Otoritarianisme

Opini Shakeella Putri Ramadhani
Opini Shakeella Putri Ramadhani

Revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini tengah digodok oleh pemerintah dan DPR. Di permukaan, revisi ini tampak sebagai sebuah langkah yang positif: memperbarui sistem hukum yang sudah usang, menyelaraskannya dengan perkembangan zaman, serta memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum.

Namun, jika dicermati lebih dalam, sejumlah pasal dalam rancangan revisi justru menghadirkan kekhawatiran. Ada aroma kuat dari peningkatan kekuasaan negara yang berpotensi melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Bacaan Lainnya

KUHAP adalah tulang punggung sistem hukum pidana. Ia mengatur prosedur penting: kapan seseorang boleh ditangkap, disidang, ditahan, dibebaskan, atau bahkan disadap. Dengan peran sentral tersebut, maka setiap upaya revisi seharusnya menjadi perhatian serius publik, karena menyangkut hak-hak dasar warga negara.

Sayangnya, dalam beberapa draf yang telah beredar, terdapat usulan kontroversial. Salah satu yang paling disorot adalah pemberian kewenangan penyadapan dan penggeledahan tanpa izin pengadilan. Dalih yang digunakan adalah efisiensi dan efektivitas penegakan hukum. Namun, langkah ini berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Membiarkan penyidik menyadap komunikasi warga negara tanpa prasyarat yudisial sama saja dengan membuka pintu menuju praktik sewenang-wenang. Dalam negara hukum yang sehat, tindakan aparat penegak hukum harus mendapat pengawasan dari lembaga yudisial. Tanpa itu, kekuasaan akan kehilangan kendali, dan aparat bisa menjadi predator legal atas nama hukum.

Yang lebih mengkhawatirkan, semangat beberapa pasal dalam revisi ini mengingatkan pada praktik hukum era Orde Baru, ketika aparat penegak hukum hampir tidak bisa disentuh, sementara warga sipil kehilangan perlindungan. Misalnya, kewenangan penahanan diperluas tanpa penguatan peran hakim dalam praperadilan.

Ironisnya, ketika dunia internasional semakin condong ke arah keadilan restoratif dan perlindungan terhadap hak-hak individu, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Kita justru menyaksikan pelebaran ruang represi yang dibalut dalam narasi hukum dan ketertiban. Hal ini sangat disayangkan, mengingat kita hidup di era demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kontrol kekuasaan.

Lebih dari sekadar revisi teknis, rancangan KUHAP ini bisa dilihat sebagai bagian dari strategi kekuasaan yang lebih besar. Dalam iklim politik yang makin transaksional dan didominasi oleh konsolidasi elite, hukum kerap dijadikan instrumen untuk mempertahankan stabilitas kekuasaan, bukan untuk membatasi atau mengontrolnya.

Sejumlah akademisi dan aktivis hak asasi manusia telah mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan. Mereka menilai revisi ini bisa digunakan untuk memantau, mengontrol, dan membungkam oposisi politik maupun masyarakat sipil yang kritis. Hukum pun tak lagi menjadi pelindung rakyat, tetapi bertransformasi menjadi alat represi yang sah di mata negara.

Satu ironi besar lainnya adalah soal transparansi dan partisipasi publik. Sebagai regulasi yang menyentuh seluruh warga negara, proses penyusunan revisi KUHAP seharusnya dilakukan secara terbuka. Namun yang terjadi justru sebaliknya: diskusi berlangsung di ruang-ruang tertutup, nyaris senyap, dan minim pelibatan publik.

Beberapa organisasi masyarakat sipil seperti ICJR dan YLBHI sudah berulang kali menyuarakan kritik. Salah satu contoh yang mengemuka adalah ketika YLBHI diundang dalam rapat bersama Komisi III DPR, tetapi kehadiran mereka tidak berdampak signifikan terhadap substansi draf.

Bahkan, maksud undangan pun dipertanyakan. Ini memperlihatkan bahwa rakyat belum diposisikan sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk terlibat.

Namun, harapan belum sepenuhnya sirna. Revisi ini belum disahkan. Masyarakat sipil masih bisa menyuarakan kritik, akademisi masih bisa menulis opini, dan jurnalis masih bisa mengungkap fakta. Ruang itu harus dimanfaatkan untuk menuntut agar proses revisi dilakukan dengan lebih demokratis dan inklusif.

Pemerintah dan DPR perlu menyadari bahwa hukum bukan sekadar perangkat teknis. Ia adalah cermin dari nilai-nilai bangsa. Jika yang kita tuangkan dalam hukum adalah ketakutan dan kontrol, maka jangan heran jika keadilan menjadi barang langka.

Demokrasi tidak mati dengan kudeta. Ia bisa mati pelan-pelan melalui pasal-pasal hukum yang disusun rapi, dicetak indah, dan disahkan secara diam-diam. Revisi KUHAP bisa menjadi alat legal untuk merampas hak rakyat jika kita semua diam.

Itulah sebabnya, revisi ini bukan hanya urusan ahli hukum. Ini adalah urusan setiap warga negara. Karena jika hukum bisa menyadap, menahan, dan membungkam siapa pun tanpa alasan jelas, maka sesungguhnya tak seorang pun dari kita benar-benar bebas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *