Pendidikan Agama Islam (PAI) memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk pribadi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Namun, dalam praktiknya, sistem asesmen yang diterapkan di banyak sekolah masih terlalu berfokus pada penguasaan teori dan hafalan semata. Padahal, dimensi afektif dan psikomotorik yang sejatinya esensial dalam pembelajaran agama justru sering kali terabaikan.
Sudah saatnya kita merefleksikan kembali cara kita menilai keberhasilan pembelajaran agama di sekolah. Apakah cukup dengan mengukur kemampuan siswa menjawab soal pilihan ganda dan esai hafalan? Atau seharusnya kita menggali lebih dalam: bagaimana mereka menginternalisasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari?
PAI tidak sekadar menyampaikan ajaran, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembentukan karakter dan spiritualitas. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, misi ini menjadi sangat strategis.
Pendidikan agama seharusnya membantu siswa mengembangkan kesadaran moral, kepekaan sosial, serta perilaku yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan.
Sayangnya, praktik asesmen PAI yang terjadi di lapangan cenderung hanya mengejar aspek kognitif. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi kering dan terlepas dari konteks kehidupan nyata. Padahal menurut Anderson dan Krathwohl (2001), evaluasi pembelajaran seharusnya mencakup tiga domain utama: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian, revolusi asesmen menjadi sebuah keniscayaan.
Pendekatan yang lebih komprehensif akan mendorong siswa tidak hanya memahami materi pelajaran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan sikap positif terhadap nilai-nilai agama. Misalnya, siswa bisa diberikan tugas menulis jurnal harian tentang bagaimana mereka menerapkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang dalam kehidupan mereka.
Bentuk lain adalah proyek sosial yang melibatkan kegiatan nyata di masyarakat, seperti kerja bakti, penggalangan dana, atau kunjungan ke panti asuhan, sebagai bagian dari pengamalan nilai Islam.
Lebih jauh lagi, asesmen berbasis proyek memungkinkan guru untuk lebih memahami perkembangan karakter siswa. Pendekatan ini tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga proses pembelajaran dan refleksi pribadi yang mendalam. Di sinilah letak kekuatan asesmen yang bermakna—ia mendorong siswa untuk mengalami langsung, berpikir kritis, dan mengambil pelajaran dari pengalaman.
Model asesmen juga perlu dibuat lebih dialogis. Diskusi kelompok, forum tanya jawab, dan analisis studi kasus bisa menjadi metode yang memperkaya pemahaman siswa terhadap ajaran agama dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih interaktif, kontekstual, dan relevan dengan kehidupan mereka.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan dalam melakukan perubahan. Perlu ada pelatihan bagi guru untuk memahami dan menerapkan model asesmen alternatif ini secara tepat. Selain itu, kurikulum juga harus disesuaikan agar selaras dengan semangat transformasi pendidikan agama yang lebih menyeluruh.
Langkah-langkah tersebut membutuhkan keberanian dan komitmen semua pihak, terutama para pendidik, untuk keluar dari zona nyaman dan membangun paradigma baru dalam pendidikan agama. PAI harus menjadi jembatan antara pengetahuan dan kesadaran spiritual, bukan sekadar sarana penguasaan materi.
Jika kita terus mempertahankan pola asesmen lama yang hanya menilai dari hafalan, kita berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, namun dangkal dalam pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama.
Maka dari itu, sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan refleksi dan bertindak. Apakah kita siap beralih dari sekadar hafalan menuju kesadaran yang lebih mendalam tentang spiritualitas dan akhlak Islami?





