KH. Djamaluddin Abdullah adalah sosok kiai desa yang memberikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Ia lahir pada 1 Februari 1927 atau bertepatan dengan Rajab 1345 H di Kauman, Nganjuk.
Beliau merupakan putra dari KH. Abdullah Sajad dengan istri keempatnya, Nyai Halimah, yang dinikahi setelah wafatnya istri-istri sebelumnya, bukan dalam konteks poligami. Sejak dalam kandungan, KH. Djamaluddin sudah menjadi yatim karena ayahnya wafat dua bulan sebelum ia lahir.
Masa kecilnya dihabiskan di rumah yang dikenal sebagai “Rumah Penghulu” di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 35. Ia diasuh dan dibimbing oleh saudara-saudara tirinya yang sangat menyayangi dan mendukungnya dalam menuntut ilmu.
Semangat belajar dan ketekunannya terlihat sejak usia dini. Pada tahun 1957, KH. Djamaluddin menikah dengan Nyai Hajah Muhsinatun, putri KH. Abdulfattah Djalalain dan Nyai Nur Aini, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Ula Nglawak, Kertosono, Nganjuk. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tujuh anak.
Sebelum wafat pada 26 April 2020 (3 Ramadhan 1442 H), beliau sempat dirawat di rumah sakit selama satu bulan. Menjelang akhir hayatnya, ia memohon untuk dirawat di rumah dan berwasiat agar jenazahnya dimandikan di Pondok Pesantren Al-Halim 2, serta dimakamkan di Poleng Ngetos, bersanding dengan makam ibunya.
Jejak Pendidikan KH. Djamaluddin Abdullah
Perjalanan pendidikan KH. Djamaluddin dimulai sejak usia lima tahun. Ia sempat bersekolah di Volkschool Nganjuk, lalu pindah ke sekolah Muhammadiyah hingga lulus pada tahun 1942. Ia kemudian melanjutkan pendidikan agama di berbagai pesantren, dimulai dari Madrasah Diniyah Ibtidaiyah di Pondok Pesantren Pasinan, Bojonegoro (1942–1944), lalu ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1944–1948), di mana ia bersahabat dengan KH. Maimoen Zubair.
Sebagai santri, KH. Djamaluddin juga ikut berjuang melawan penjajah dengan bergabung dalam TNI. Ia sempat mengikuti program kilatan Ramadan di Mojosari (1947), lalu meneruskan belajar ke Pondok Pesantren Widang, Tuban, dan Krapyak, Yogyakarta (1950–1951). Semangat menuntut ilmu dan kecintaan terhadap agama terus membimbing setiap langkahnya.
Kiprah dan Kontribusi KH. Djamaluddin Abdullah
Pada tahun 1980, beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Halim, dinamai dari nama ibunya, Halimah. Sebelum itu, beliau sempat menjabat sebagai Kepala Kanwil Depag Jatim, namun memilih pensiun dini demi mengemban amanah mertuanya untuk meneruskan perjuangan dakwah di pesantren. Ia pun ditunjuk sebagai Kepala Sekolah MAN Nglawak (kini MAN 1 Nganjuk) dan menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Halim.
Awalnya hanya lima santri tinggal di satu kamar. Salah satunya adalah Bahrozi, yang kini menjabat Kepala Kemenag Nganjuk. Dengan ketekunan dan keteladanan beliau, jumlah santri pun bertambah.
KH. Djamaluddin dikenal sangat memperhatikan santri seperti anaknya sendiri, menyempatkan diri untuk menyapa mereka setiap pagi, memeriksa rapor, hingga memberikan motivasi dan nasihat.
Beliau berpesan, “Santri harus memiliki ilmu agama dan umum yang seimbang serta selalu memiliki jiwa santri sampai kapan pun.” Untuk melanjutkan estafet keilmuan mertuanya, beliau memperjuangkan penegerian MAN Nglawak dan mendirikan STIA Miftahul ‘Ula pada tahun 1996, yang kemudian berubah menjadi STAI Miftahul ‘Ula dengan berbagai program studi seperti PAI, Ekonomi Syariah, PGMI, dan PGRA.
Karir dan Kiprah Sosial KH. Djamaluddin Abdullah
Karier KH. Djamaluddin dimulai sejak masa revolusi. Antara 1945–1948, ia menjadi staf persenjataan di Batalyon Gelatik Kediri dan dikenal sebagai pelopor bambu runcing. Setelahnya, ia menjadi guru di SRI Kandat, lalu di rumah yatim Muhammadiyah di Yogyakarta (1952–1955), dan SGB Negeri Mlati (1954–1956) yang mayoritas guru Nasrani. Beliau mengusulkan penguatan praktik ibadah dalam kurikulum PGAN Puteri.
Pada tahun 1977–1987, beliau menjabat sebagai Kepala MAN 1 Nganjuk. Di waktu yang sama, ia juga menjadi Kepala Bagian Pengawasan Kanwil Depag Jatim. Beliau turut menegerikan 37 madrasah di Jatim dan mendirikan majalah Mimbar Pendidikan Agama sebagai media komunikasi dan pembinaan. Ia juga menggagas dana kesejahteraan guru melalui YAKPI dan berbagai pelatihan guru.
Tak hanya aktif di pendidikan, KH. Djamaluddin juga berperan besar dalam organisasi keagamaan. Ia merupakan salah satu pendiri PERGUNU dan memperjuangkannya sebagai badan otonom PBNU setelah dibekukan pada 1970.
Ia menjabat sebagai Ketua PERGUNU Nganjuk (2002–2012), dan mars organisasi tersebut diciptakan oleh putranya, Ahmad Fatkhillah. Mars ini mendapat apresiasi dari Menteri Agama dan kenang-kenangan dari Menteri Sosial pada Kongres II PERGUNU, 2016.
Keteladanan KH. Djamaluddin Abdullah
KH. Djamaluddin Abdullah dikenal sebagai pribadi yang pekerja keras, sederhana, dan pantang menyerah. Di usia 90-an, ia masih aktif mengajar di STAI dan Madrasah Diniyah. Ia juga rutin mengisi pengajian kitab Ta’lim Muta’allim dan Ash-Shoum meskipun penglihatannya sudah menurun.
Beliau dikenal sangat menghargai perempuan, mendukung putri-putrinya untuk menjadi pemimpin, termasuk sebagai calon anggota DPR RI dan Ketua Fatayat NU Yogyakarta. Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu aktif, tidak gengsi mencuci pakaian sendiri demi menjaga kesucian.
Kebiasaannya bersilaturahmi, menghargai ilmu, dan kedisiplinannya menjadi teladan bagi banyak orang. Nasihat yang kerap beliau sampaikan kepada santrinya ialah: “Ojo tau omong ora iso tapi durung iso, mergo nek ora iso wes pasti sampek sok mben yo ora iso, tapi nek durung iso berarti isih ana kesempatan gae iso.”
Maknanya: Jangan pernah berkata “tidak bisa”, tetapi katakanlah “belum bisa”, karena “tidak bisa” berarti menyerah, sedangkan “belum bisa” masih ada harapan untuk bisa.
KH. Djamaluddin Abdullah adalah contoh nyata seorang pendidik sejati, pejuang agama, penggerak pendidikan, tokoh pesantren, dan pembela kaum santri. Warisannya akan terus hidup melalui lembaga-lembaga pendidikan dan nilai-nilai luhur yang ia tanamkan sepanjang hayat.





