“Sebuah Indonesia” dan Seni Berbicara dengan Hati: Retorika di Balik Kampanye Gojek

Indonesia adalah mozaik kehidupan rakyatnya. Kampanye Gojek “Sebuah Indonesia” menyatukan wajah-wajah ini dalam satu cerita solidaritas dan harapan. (GG)
Indonesia adalah mozaik kehidupan rakyatnya. Kampanye Gojek “Sebuah Indonesia” menyatukan wajah-wajah ini dalam satu cerita solidaritas dan harapan. (GG)

Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye iklan telah mengalami transformasi besar. Tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat untuk mempromosikan produk atau jasa, kampanye kini menjelma menjadi sarana komunikasi yang lebih luas dan mendalam.

Perusahaan-perusahaan besar mulai memanfaatkan iklan sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai sosial, narasi budaya, bahkan ideologi tertentu yang ingin mereka tanamkan dalam benak publik. Iklan bukan hanya soal menjual barang, tetapi soal menjual cerita, emosi, dan identitas.

Bacaan Lainnya

Transformasi ini terjadi seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu-isu sosial dan meningkatnya ekspektasi bahwa brand harus memiliki peran aktif dalam membentuk masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berdaya.

Salah satu contoh paling menonjol dari tren ini di Indonesia adalah kampanye iklan “Sebuah Indonesia” yang dirilis oleh Gojek. Kampanye ini bukanlah iklan konvensional yang menonjolkan fitur-fitur produk secara langsung, melainkan sebuah narasi visual dan emosional yang menggambarkan realitas sosial di tengah krisis pandemi COVID-19.

Dirilis pada pertengahan tahun 2021, iklan ini mengangkat tema “kebersamaan dan harapan”, dengan latar cerita yang menampilkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang,mulai dari pengemudi ojek online, tenaga medis, pedagang kecil, hingga pelajar dan ibu rumah tangga.

Setiap adegan dirangkai dengan sinematografi yang intim dan musik yang menyentuh, menjadikan kampanye ini sebagai salah satu materi komunikasi brand yang paling menyentuh hati di masa pandemi.

Secara visual dan naratif, kampanye ini menekankan bahwa “Indonesia adalah kita semua” merupakan sebuah gagasan bahwa bangsa ini dibentuk oleh kontribusi kolektif dari setiap warganya. Gojek dalam hal ini menempatkan dirinya bukan sekadar sebagai perusahaan teknologi, melainkan sebagai bagian dari ekosistem sosial yang turut berjuang bersama masyarakat.

Pesan utama dari kampanye ini adalah bahwa harapan dan kekuatan untuk pulih tidak hanya datang dari pemerintah atau lembaga besar, tetapi juga dari solidaritas antarwarga, dari hal-hal kecil yang dilakukan bersama, dari gotong royong.

Teori Retorika: Jalan Menuju Persuasi yang Efektif

Teori retorika adalah cabang ilmu komunikasi yang mempelajari seni berbicara dan menulis secara persuasif. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno, dalam karyanya yang berjudul Rhetoric. Dalam konteks klasik, retorika dianggap sebagai seni untuk membujuk dan memengaruhi audiens melalui ujaran atau tulisan yang terstruktur dan efektif.

Retorika bukan hanya soal “membujuk” dalam arti negatif seperti manipulasi, tetapi juga tentang bagaimana menyampaikan pesan secara meyakinkan, beretika, dan relevan. Dalam kehidupan modern, teori retorika digunakan dalam pidato politik, kampanye sosial, iklan, jurnalisme, penulisan opini, bahkan dalam komunikasi sehari-hari.

Dalam pandangan klasik, Aristoteles menyusun teori retorika yang menjadi dasar pemahaman komunikasi persuasif. Ia mengatakan bahwa agar pesan mampu menyentuh audiens dan mendorong mereka bereaksi, maka pesan tersebut harus memiliki tiga unsur utama: ethos, pathos, dan logos.

Pertama, kita mulai dari ethos, yang berkaitan dengan siapa yang berbicara. Bayangkan Anda mendengar seorang tokoh masyarakat atau seseorang yang telah lama bekerja di bidang kemanusiaan berbicara tentang pentingnya solidaritas. Anda cenderung mempercayainya karena Anda tahu latar belakangnya, reputasinya, dan kepeduliannya.

Itulah ethos yang merupakan kredibilitas. Dalam retorika, ethos penting karena audiens hanya akan mempercayai pesan jika mereka mempercayai orang atau institusi yang menyampaikan pesan tersebut. Ethos bisa dibangun lewat reputasi, pengalaman, atau cara seseorang menyampaikan dirinya secara etis dan bijak.

Lalu, ada pathos, yang berhubungan dengan perasaan dan emosi. Jika seseorang ingin menyampaikan pesan yang benar-benar membekas di hati audiens, maka ia harus mampu menyentuh sisi emosional mereka.

Misalnya, ketika sebuah iklan menunjukkan perjuangan seorang ibu bekerja keras demi pendidikan anaknya, atau ketika sebuah video kampanye menampilkan momen haru di tengah bencana itu adalah pathos yang bekerja. Emosi seperti harapan, duka, kebanggaan, atau ketakutan dapat membuat pesan menjadi lebih manusiawi dan dekat. Tanpa pathos, pesan mungkin terdengar benar, tapi dingin dan tidak menggerakkan.

Kemudian ada logos, yaitu logika, alasan, dan bukti. Audiens yang berpikir kritis tidak cukup hanya disentuh emosinya atau percaya pada pengirim pesan, mereka juga ingin tahu: “Apa dasar dari pesan ini?” Dalam hal ini, penggunaan data, fakta, argumentasi yang terstruktur, serta analogi yang masuk akal sangat penting.

Logos membantu audiens memahami bahwa pesan yang disampaikan masuk akal dan berdasar, bukan sekadar kata-kata manis atau manipulasi.Namun, menyampaikan pesan persuasif tidak cukup hanya dengan mengandalkan ethos, pathos, dan logos secara terpisah. Retorika yang efektif adalah perpaduan yang seimbang dari ketiganya.

Misalnya, seorang pemimpin yang berbicara kepada rakyat di masa krisis akan dinilai kuat bukan hanya karena posisinya (ethos), tetapi juga karena ia mampu menggerakkan hati rakyat (pathos) dan memberikan solusi yang rasional (logos).

Relevansi Kampanye “Sebuah Indonesia” dengan Teori Retorika

Relevansi teori retorika dalam menganalisis kampanye “Sebuah Indonesia” dari Gojek sangatlah penting karena kampanye ini bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi tentang bagaimana membangun pesan yang persuasif dan menyentuh emosi publik.

Dalam konteks ini, teori retorika yang dikembangkan oleh Aristoteles menawarkan kerangka kerja yang sangat efektif untuk memahami bagaimana pesan dalam kampanye tersebut dapat berdampak secara luas.

Tiga konsep utama dalam teori retorika yaitu ethos, pathos, dan logos berfungsi sebagai elemen-elemen kunci yang menjelaskan mengapa kampanye ini mampu menggugah kesadaran dan empati masyarakat, serta memperkuat posisi Gojek sebagai brand yang berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial.

Pertama, kampanye ini secara kuat menampilkan ethos, yaitu kredibilitas dan karakter Gojek sebagai brand yang tidak hanya berorientasi pada bisnis, tetapi juga peduli terhadap realitas sosial. Gojek selama ini dikenal sebagai perusahaan teknologi lokal yang tumbuh bersama masyarakat Indonesia.

Dalam kampanye ini, citra tersebut diperkuat melalui penggambaran nyata peran mereka dalam mendukung mitra driver, UMKM, serta masyarakat luas di masa pandemi. Kredibilitas Gojek sebagai bagian dari ekosistem sosial menjadikan pesan yang mereka sampaikan terasa lebih autentik dan layak dipercaya oleh audiens.

Kedua, kekuatan pathos dalam kampanye ini begitu dominan. Visualisasi kehidupan masyarakat dari berbagai lapisan social seperti pengemudi ojek, pedagang kecil, anak-anak sekolah, hingga tenaga medis disajikan dengan sangat manusiawi dan emosional.

Musik latar yang syahdu dan narasi puitis mendampingi setiap adegan, menciptakan resonansi emosional yang mendalam bagi penonton. Elemen pathos ini mampu membangun empati dan keterhubungan emosional antara audiens dan pesan yang disampaikan. Ketika masyarakat melihat cuplikan kehidupan sehari-hari mereka sendiri di tengah pandemi, perasaan haru, bangga, dan harapan muncul secara alami.

Terakhir, meskipun pesan kampanye sangat kental dengan nuansa emosional, logos atau logika juga tetap hadir dengan jelas. Pesan yang disampaikan adalah bahwa kekuatan untuk bangkit dari krisis tidak hanya berasal dari atas (pemerintah atau institusi besar), tetapi juga dari kekuatan kolektif masyarakat dalam membentuk sebuah argumen yang rasional dan kontekstual. Dalam logika sosial, gotong royong dan partisipasi aktif warga memang menjadi pilar penting dalam menghadapi bencana. Gojek berhasil mengemas gagasan ini dalam narasi yang masuk akal, menunjukkan kontribusi nyatanya, dan mengajak publik untuk ikut berperan.

Dengan memadukan ethos, pathos, dan logos secara seimbang, Gojek tidak hanya menciptakan kampanye yang viral, tetapi juga membentuk narasi yang kuat tentang peran brand dalam masyarakat. Dalam konteks ini, teori retorika tidak hanya menjadi alat analisis, melainkan juga fondasi strategis dalam perancangan pesan yang efektif.

Kampanye “Sebuah Indonesia” menjadi bukti bahwa komunikasi brand yang dibangun dengan prinsip retorika dapat menghasilkan dampak yang bukan hanya komersial, tetapi juga sosial dan kultural merupakan sesuatu yang semakin penting di era brand activism dan konsumen yang lebih sadar nilai.

Kesimpulan yang dapat kita ambil

Kesimpulan tulisan ini dapat membawa kita pada pemahaman mendalam tentang bagaimana sebuah kampanye iklan bukan lagi sekadar alat promosi, tetapi telah berevolusi menjadi media komunikasi yang sarat makna dan nilai. Kampanye “Sebuah Indonesia” dari Gojek membuktikan bahwa pesan-pesan yang dibangun dengan landasan teori retorika yakni perpaduan ethos (kredibilitas), pathos (emosi), dan logos (logika) dapat menciptakan resonansi yang kuat dalam benak publik.

Dalam kondisi krisis seperti pandemi COVID-19, kampanye ini tidak hanya berhasil menyampaikan pesan, tetapi juga menggugah rasa solidaritas, harapan, dan semangat kolektif masyarakat Indonesia.

Dari sudut pandang komunikasi, pelajaran penting yang dapat dipetik adalah bahwa kekuatan narasi yang menyentuh, disampaikan oleh pihak yang kredibel dan dilandasi oleh argumen yang masuk akal, mampu menggerakkan publik lebih dari sekadar slogan kosong. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, audiens menjadi lebih kritis terhadap pesan yang mereka terima.

Mereka tidak lagi tertarik pada sekadar “iklan bagus”, tetapi lebih menghargai konten yang menyentuh nilai kemanusiaan dan menunjukkan keberpihakan sosial. Di sinilah teori retorika menjadi sangat relevan—bukan hanya sebagai alat analisis akademik, tetapi juga sebagai pedoman praktis dalam menciptakan komunikasi yang bermakna.

Bagi publik, terutama generasi muda yang kini menjadi konsumen utama sekaligus agen perubahan sosial, kampanye seperti ini menjadi cermin bahwa brand bisa berperan dalam membentuk wacana sosial. Ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kita sebagai audiens juga memiliki tanggung jawab untuk memilih dan mendukung brand yang mengedepankan nilai, bukan hanya keuntungan.

Brand seperti Gojek menunjukkan bahwa kepedulian sosial bukanlah beban, tetapi justru menjadi kekuatan yang dapat memperkuat hubungan dengan konsumen dan memperluas dampak sosial.

Akhirnya, kampanye “Sebuah Indonesia” mengajarkan bahwa komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang tulus, berakar pada realitas, dan menggerakkan hati serta pikiran secara bersamaan. Di tengah dunia yang sering kali bising oleh informasi, kampanye ini membuktikan bahwa keheningan sesaat yang diisi oleh pesan penuh makna bisa menjadi lebih kuat dari ribuan kata promosi. Dan di sanalah letak kekuatan retorika sejati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *