Tanah Warisan atau Uang Miliaran? Dilema Warga Bali Aga di Tengah Gempuran Investor

Ilustrasi foto by AI
Ilustrasi foto by AI

Pagi itu, embun belum sepenuhnya menguap dari pucuk-pucuk bambu di Desa Tenganan Pegringsingan. I Wayan, seorang warga berusia 67 tahun, duduk di bale bambu miliknya sambil menatap sawah yang mulai menguning. “Tanah ini bukan cuma warisan,” katanya pelan, “ini titipan leluhur.”

Namun, beberapa petak sawah di seberangnya kini telah berubah fungsi. Bukan lagi ladang, melainkan deretan fondasi beton calon vila yang kabarnya dipesan oleh seorang warga negara Jerman. Inilah wajah baru Bali Aga hari ini. Komunitas adat tertua di Pulau Dewata itu kini menghadapi tawaran besar yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: miliaran rupiah untuk sepetak tanah.

Bacaan Lainnya

Di tengah janji pembangunan dan tekanan ekonomi, masyarakat adat Bali Aga dihadapkan pada dilema besar: mempertahankan tanah warisan leluhur atau menjualnya demi bertahan hidup di dunia yang terus berubah?

Desa-desa Bali Aga seperti Trunyan, Pedawa, dan Sidatapa dahulu nyaris tak tersentuh oleh arus zaman. Letaknya terpencil, aksesnya sulit, dan terlindung oleh bentang alam yang terjal. Namun hari ini, desa-desa itu menjadi primadona baru dalam peta investasi properti pariwisata.

Keaslian budaya dan eksotisme tradisi menjadi komoditas baru yang dijual mahal. Ironisnya, bukan oleh masyarakat adat itu sendiri, melainkan oleh orang luar yang mengaku ingin “mengelola” keaslian tersebut.

Para investor datang membawa janji—lapangan kerja, pembangunan, kemakmuran. Namun bersamaan dengan itu, mereka juga membawa nilai-nilai baru: tanah adalah aset, bukan pusaka. Uang dianggap solusi, bukan godaan. Beberapa warga tergoda. Bagaimana tidak? Satu are tanah bisa dihargai Rp2 hingga Rp4 miliar. Dalam satu malam, status sosial bisa berubah drastis.

Namun di sisi lain, tak sedikit warga yang merasa bahwa menjual tanah sama dengan menjual bagian tubuh mereka sendiri. Karena dalam pandangan Bali Aga, tanah bukan milik pribadi, melainkan milik bersama—komunitas dan para leluhur.

Dalam sistem adat Bali Aga, tanah dikelola secara komunal. Tidak bisa diperjualbelikan secara sembarangan, apalagi kepada pihak luar. Aturan ini memang tidak tertulis dalam undang-undang, tetapi hidup dan dijalankan berdasarkan keputusan bersama warga adat yang disebut Krama Desa. Pelanggaran terhadap kesepakatan adat dapat berujung pada sanksi sosial, mulai dari pengucilan hingga dicoret dari komunitas.

Sayangnya, kekuatan hukum adat tidak selalu seimbang ketika berhadapan dengan modal besar. Investor datang dengan notaris, birokrat, dan legalitas negara. Sementara warga adat hanya mengandalkan kata sepakat dan ikatan moral. Ketika hukum adat tidak dilindungi oleh negara, perlahan-lahan tanah adat berpindah tangan secara sah di atas kertas, meskipun tidak sah secara adat.

Kondisi ini menguatkan kritik dua tokoh hukum adat, Van Vollenhoven dan Ter Haar, yang menegaskan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup. Namun, apa jadinya jika “yang hidup” kalah oleh “yang legal”?

Yang paling bimbang adalah generasi muda. Mereka tumbuh di antara dua dunia: satu sisi diajarkan menjaga warisan leluhur, sisi lain dibesarkan dalam logika modern yang menuntut kompetisi. Banyak dari mereka bercita-cita kuliah tinggi, membangun usaha, atau sekadar hidup “normal”, dan tanah warisan dianggap sebagai sumber daya yang bisa menjadi modal ke sana.

Sebagian generasi muda juga merasa terbebani oleh tekanan adat. Mereka dianggap “melawan” ketika mulai mempertanyakan hak atas tanah, namun di sisi lain dibiarkan ketika desa kekurangan fasilitas. Di titik ini, hukum adat bisa terasa lebih sebagai beban ketimbang pelindung.

Namun, benarkah menjual tanah menyelesaikan segalanya?

Fakta di lapangan berkata lain. Di banyak desa yang dulunya menjual tanah kepada investor, kini yang tersisa hanya nostalgia. Warga kehilangan akses ke lahan, tidak lagi bisa bertani, dan akhirnya menjadi buruh di tanah sendiri. Kepemilikan berubah, kendali hilang, jati diri luntur.

Apakah masyarakat Bali Aga harus menutup diri? Tidak. Tapi bukan berarti membuka semua pintu tanpa batas. Yang dibutuhkan adalah otonomi adat yang dilindungi negara dan dihormati pasar. Beberapa desa telah memulai langkah ini. Mereka membentuk koperasi adat, mengelola tanah secara kolektif, dan mengembangkan wisata berbasis budaya yang keuntungannya kembali untuk desa.

Skema lain yang dijalankan adalah sistem hak pakai terbatas—investor boleh membangun fasilitas wisata, tapi kepemilikan tanah tetap dipegang desa. Ada juga unit usaha bersama yang dikelola oleh Krama, bukan perorangan. Dengan model ini, masyarakat tidak hanya menjaga tanah, tetapi juga menjaga nilai, identitas, dan masa depan mereka.

Pemerintah daerah pun harus turun tangan. Peraturan Daerah tentang Tanah Adat dan Hak Ulayat tidak boleh hanya menjadi wacana, melainkan harus segera disahkan dan dijalankan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, hukum adat akan terus terpinggirkan oleh surat-surat notaris.

“Kalau tanah dijual, kami akan tinggal di mana?” tanya seorang tetua adat di Desa Sidetapa. Pertanyaan ini bukan hanya tentang tempat tinggal secara fisik, tapi tentang akar identitas. Sebab di tanah itulah upacara dilaksanakan, abu leluhur disemayamkan, dan warisan budaya dijaga.

Dilema Bali Aga bukan hanya persoalan lokal. Ini adalah potret nasional tentang bagaimana masyarakat adat menghadapi modernitas yang datang tanpa kompromi. Uang bisa datang dengan cepat, namun sekali tanah warisan hilang, ia tak akan pernah kembali. Pilihan ada di tangan masyarakat adat. Namun negara, hukum, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka tidak dipaksa memilih antara kemiskinan dan kehilangan jati diri.


Meta Deskripsi (150 karakter):
Esai ini mengangkat

Keyword (ditebalkan di artikel):

Jika Anda memiliki instruksi tambahan atau ingin mengganti sudut pandang, saya siap bantu!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *