Rendahnya kemampuan literasi di kalangan siswa SMA, terutama dalam menangkap ide pokok dari sebuah bacaan, membawa dampak psikologis dan sosial yang signifikan. Secara psikologis, siswa yang kesulitan memahami teks sering kali mengalami penurunan kepercayaan diri.
Ketidakmampuan mereka dalam menangkap inti informasi membuat mereka merasa kurang mampu dibandingkan teman-temannya. Akibatnya, motivasi dan semangat belajar menurun. Bahkan, rasa cemas atau tekanan bisa muncul, terutama saat menghadapi ujian atau tugas yang menuntut pemahaman bacaan. Ketakutan akan kegagalan semakin memperburuk kondisi ini, sehingga siswa cenderung menghindari aktivitas yang melibatkan literasi.
Dampak tersebut tidak hanya terbatas pada aspek psikologis, tetapi juga meluas ke ranah sosial. Siswa dengan kemampuan literasi rendah cenderung menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di lingkungan sosial.
Dalam diskusi kelas, mereka sering merasa ragu untuk menyampaikan pendapat karena kurang memahami materi. Di luar kelas, mereka mungkin kesulitan mengikuti percakapan atau memahami konteks sosial yang membutuhkan kemampuan membaca dan menyaring informasi.
Akibatnya, siswa lebih sering merasa terisolasi dan enggan terlibat dalam aktivitas yang bersifat akademis atau berbobot. Hal ini berpotensi menurunkan rasa percaya diri mereka di lingkungan sosial yang lebih luas.
Dalam jangka panjang, rendahnya kemampuan literasi dapat memengaruhi peluang siswa untuk berprestasi dan meraih kesuksesan di masa depan. Literasi yang buruk menghambat kemampuan berpikir kritis, yang merupakan keterampilan penting dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja.
Siswa dengan kemampuan literasi rendah sering kali mengalami kesulitan dalam menganalisis informasi, membuat keputusan, atau menyampaikan ide secara efektif. Akibatnya, mereka berada dalam posisi yang kurang menguntungkan di dunia kerja yang semakin kompetitif, di mana kemampuan analisis mendalam dan pemahaman cepat sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Menggali Budaya: Representasi Samurai Jepang dalam Game Ghost of Tsushima
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Sekolah, misalnya, dapat menerapkan program yang fokus pada pengembangan literasi siswa. Guru dapat menggunakan metode pembelajaran yang lebih menarik, seperti mengintegrasikan teknologi atau media interaktif.
Selain itu, kegiatan bimbingan dan motivasi dapat membantu siswa mengatasi rasa takut atau cemas terhadap kegiatan membaca. Pendekatan psikologis semacam ini penting untuk memastikan bahwa siswa tidak hanya belajar membaca, tetapi juga merasa percaya diri dengan kemampuan mereka.
Keluarga juga memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan literasi siswa. Orang tua dapat menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan minat anak dan menciptakan lingkungan rumah yang mendukung kebiasaan membaca.
Mereka juga dapat terlibat dalam diskusi mengenai buku atau bacaan lainnya untuk membantu anak memahami isi teks secara lebih mendalam. Dukungan emosional dari keluarga sangat penting dalam meningkatkan motivasi siswa untuk terus belajar dan membaca.
Baca Juga: Ghost of Tsushima: Antara Estetika dan Esensi Budaya Samurai
Masyarakat luas dapat memberikan kontribusi melalui peningkatan akses terhadap sumber-sumber literasi. Kehadiran taman bacaan, perpustakaan umum, atau kegiatan komunitas berbasis literasi dapat menjadi tempat di mana siswa melatih kemampuan mereka sekaligus berinteraksi secara sosial.
Program-program berbasis masyarakat tidak hanya melatih siswa untuk membaca, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kolaborasi dan komunikasi yang penting dalam kehidupan.
Dengan dukungan dari sekolah, keluarga, dan masyarakat, siswa dapat mengatasi tantangan rendahnya literasi. Tidak hanya kemampuan membaca mereka yang meningkat, tetapi juga kepercayaan diri, keterampilan sosial, dan peluang untuk meraih kesuksesan di masa depan. Literasi yang kuat menjadi fondasi penting bagi generasi muda dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks.





