Desa kerap dibayangkan sebagai ruang hijau yang bersahaja seperti hamparan sawah, sungai jernih, serta kehidupan yang selaras dengan alam. Namun gambaran ideal itu kian menjauh dari kenyataan.
Degradasi lingkungan di banyak desa di Indonesia berlangsung perlahan tetapi konsisten: sungai berubah menjadi saluran pembuangan, tanah kehilangan kesuburannya, dan sampah plastik menjadi keseharian yang nyaris dianggap lumrah. Ironisnya, sebagian warga memandang situasi tersebut sebagai konsekuensi wajar dari “kemajuan pembangunan”.
Selama ini, problem lingkungan desa kerap dijelaskan melalui pendekatan teknis: minim fasilitas, keterbatasan anggaran, atau rendahnya pengetahuan. Penjelasan itu tidak keliru, tetapi tidak cukup. Ada dimensi lain yang kerap terabaikan, yakni cara warga memaknai lingkungan dan tindakan kesehariannya.
Opini publik, persepsi risiko, hingga bagaimana komunitas menilai benar–salah dalam urusan lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan ataupun kegagalan upaya pelestarian.
Di berbagai tempat, muncul kelompok warga yang mulai sadar pentingnya menjaga kebersihan, mengurangi sampah plastik, atau merawat pepohonan. Namun pada saat yang sama, tidak sedikit yang masih menganggap membuang sampah ke sungai sebagai kebiasaan turun-temurun atau membakar sampah sebagai solusi paling praktis.
Fragmentasi cara pandang ini menciptakan resistensi terhadap perubahan. Ketika tidak ada kesepahaman dasar, gerakan lingkungan mudah terpecah dan kehilangan energi sosial untuk mendorong tindakan kolektif.
Situasi menjadi lebih kompleks sejak media sosial memasuki ruang-ruang privat pedesaan. Informasi mengenai lingkungan kini tidak hanya beredar melalui penyuluh atau perangkat desa, melainkan juga melalui grup WhatsApp, video pendek TikTok, dan unggahan media sosial yang belum tentu akurat.
Di ruang digital itu, mitos dan misinformasi sering memperoleh tempat yang subur. Warga cenderung mempercayai informasi yang selaras dengan keyakinannya, sembari menolak pandangan lain yang dianggap tidak relevan.
Fenomena tersebut menciptakan ruang gema lingkungan informasi yang memperkuat keyakinan lama dan menutup kemungkinan hadirnya perspektif alternatif. Akibatnya, kesalahpahaman tentang pertanian organik, kekeliruan terkait pemilahan sampah, hingga penyangkalan risiko ekologis mudah bertahan karena terus direproduksi. Dalam situasi seperti itu, intervensi berbasis bukti menjadi sulit diterima, bahkan cenderung dicurigai.
Di sisi lain, isu lingkungan sering tersisih oleh persoalan yang dianggap lebih mendesak. Kenaikan harga pupuk, konflik sosial, atau tekanan ekonomi membuat perhatian warga tersedot ke isu-isu jangka pendek.
Perawatan lingkungan hampir selalu menjadi agenda sementara yang mana muncul ketika terjadi banjir atau kebakaran lahan, lalu kembali menghilang ketika keadaan terlihat normal. Siklus ini membuat pembangunan lingkungan yang berkelanjutan tidak pernah memperoleh pijakan kuat.
Karena itu, krisis lingkungan desa bukan semata persoalan ekologis. Ia adalah persoalan cara berpikir kolektif. Tidak cukup menyoroti apa yang dilakukan warga, tetapi juga bagaimana mereka memahami, memperdebatkan, dan menyepakati tindakan yang dianggap penting bagi keberlanjutan hidup bersama.
Pendekatan top-down yang hanya mengandalkan instruksi atau proyek teknis sesaat terbukti tidak memadai. Yang diperlukan ialah pembangunan ruang percakapan yang setara, komunikasi yang transparan dalam musyawarah lingkungan, serta dialog inklusif yang mampu menjembatani perbedaan pendapat. Hanya melalui percakapan terbuka, warga dapat membangun konsensus yang kokoh terkait prinsip merawat lingkungan.
Pada saat yang sama, literasi media menjadi kebutuhan mendesak. Pelatihan untuk mengkritisi informasi digital penting agar warga tidak larut dalam arus misinformasi yang menyesatkan. Upaya ini juga menjadi benteng untuk mengurangi efek isolatif dari ruang gema, sehingga warga lebih terbuka terhadap pengetahuan baru dan pendekatan berbasis bukti.
Perubahan tidak selalu dimulai dari langkah besar. Tindakan sederhana seperti mengurangi penggunaan plastik, tidak membuang sampah sembarangan, atau menanam pohon di pekarangan dapat menjadi titik awal penting. Namun perubahan yang paling menentukan terjadi pada ranah pola pikir. Ketika kepedulian lingkungan bertransformasi menjadi kesadaran kolektif, tindakan nyata akan mengikuti dengan sendirinya.
Kepedulian terhadap lingkungan desa tidak terpisahkan dari dinamika opini publik dan arus informasi yang membentuknya. Seiring ruang digital semakin memengaruhi percakapan masyarakat, pengelolaan informasi dan pembentukan pemahaman bersama menjadi prasyarat utama bagi aksi lingkungan yang berkelanjutan.
Melalui dialog inklusif, literasi media yang kuat, serta ketahanan terhadap polarisasi informasi, desa-desa Indonesia dapat bergerak lebih mantap mewujudkan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan bukan sebagai cita-cita abstrak, tetapi sebagai agenda nyata yang disepakati bersama.





