Tantangan Serius Pengangguran Indonesia Tahun 2025

Opini Hani Mayrani
Opini Hani Mayrani

Tingkat pengangguran yang terus meningkat dari tahun ke tahun bukan lagi sekadar persoalan statistik, melainkan cerminan nyata dari tantangan struktural yang dihadapi bangsa ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka mengalami peningkatan signifikan.

Kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan antara sistem pendidikan, dinamika pasar kerja, serta arah kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya bersinergi.

Bacaan Lainnya

Ketua BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa peningkatan pengangguran tersebut terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja sebesar 3,67 juta orang, sehingga totalnya mencapai 153,05 juta orang pada Februari 2025. Fakta ini harus menjadi perhatian serius, terutama bagi para pemangku kebijakan.

Setiap tahun, jutaan lulusan baru dari tingkat SMA hingga perguruan tinggi memasuki pasar kerja. Namun sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan perluasan lapangan kerja yang memadai. Banyak lulusan terpaksa bekerja di sektor informal atau bahkan menjadi bagian dari kelompok pengangguran terdidik. Ironisnya, di saat yang sama, kalangan industri justru mengeluhkan minimnya tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Laporan International Monetary Fund (IMF) pada April 2024 menyebutkan bahwa Indonesia mencatat tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara ASEAN lainnya. Tingkat pengangguran di Indonesia tercatat sebesar 5,2 persen, selisih 0,1 persen lebih tinggi dibandingkan Filipina. Ini merupakan indikator bahwa persoalan ketenagakerjaan kita sangat serius dan tidak bisa dianggap remeh.

Berbagai program pemerintah sebenarnya telah digulirkan, seperti pelatihan vokasi, program Kartu Prakerja, hingga insentif bagi pelaku UMKM. Namun efektivitas program-program tersebut masih perlu dievaluasi secara komprehensif.

Apakah pelatihan yang diberikan benar-benar mampu menjawab kebutuhan pasar? Apakah insentif kepada sektor usaha kecil cukup untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan?

Peristiwa job fair di Bekasi bulan lalu menjadi potret nyata kegelisahan masyarakat terhadap peluang kerja. Ribuan pencari kerja memadati lokasi kegiatan hingga menimbulkan kericuhan, bahkan puluhan pelamar mengalami cedera dan pingsan akibat sesak dan berdesakan.

Bupati Bekasi, Adek Kuswara Kunang, menjelaskan bahwa job fair tersebut merupakan bagian dari program prioritas 100 hari kerjanya. Namun, peristiwa itu menyiratkan adanya kebutuhan mendesak akan sistem rekrutmen dan ketenagakerjaan yang lebih manusiawi dan terorganisir.

Imanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, turut menyoroti insiden ini sebagai sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa diabaikan. Menurutnya, kerumunan besar yang terjadi mencerminkan betapa tingginya angka pengangguran di Indonesia dan minimnya peluang kerja yang layak.

Masalah pengangguran bukan hanya soal ketiadaan penghasilan. Lebih dari itu, status sebagai pengangguran bisa menimbulkan tekanan emosional yang berat, bahkan meruntuhkan rasa percaya diri dan martabat seseorang. Pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang ingin menganggur. Mereka membutuhkan sistem yang mendukung—baik dari segi pendidikan, pelatihan, maupun kebijakan yang konkret.

Upaya mengurangi pengangguran tentu tidak cukup hanya dengan solusi jangka pendek. Diperlukan strategi jangka panjang yang mengutamakan pembangunan manusia. Peningkatan kualitas pendidikan, khususnya keselarasan kurikulum dengan kebutuhan industri, merupakan langkah krusial.

Pendidikan seharusnya tidak sekadar mencetak lulusan, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan yang relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Selain itu, pemerintah perlu mempercepat investasi di sektor-sektor strategis seperti ekonomi hijau, digital, dan industri kreatif. Ketiga sektor ini berpotensi besar membuka peluang kerja bagi generasi muda dan dapat menjadi fondasi ekonomi masa depan Indonesia.

Dukungan terhadap pencari kerja juga perlu dilakukan melalui penyederhanaan persyaratan kerja. Terlalu banyak kriteria yang memberatkan calon pekerja hanya akan mempersempit peluang mereka.

Sebaliknya, sistem rekrutmen yang mempertimbangkan potensi dan passion calon tenaga kerja akan memberi ruang lebih luas bagi masyarakat untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.

Kini saatnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil duduk bersama untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang adaptif, berkelanjutan, dan inklusif. Jika tidak segera dilakukan, kita hanya akan membiarkan harapan jutaan generasi muda tenggelam dalam statistik yang makin menakutkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *