Teknologi Melesat, Literasi Harus Hebat!

Opini Fadhilah Al Mar’atus Sholikhah
Opini Fadhilah Al Mar’atus Sholikhah

Di tengah derasnya arus perkembangan teknologi saat ini, manusia dituntut untuk tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga pemilik kemampuan literasi digital yang andal. Gawai canggih, kecerdasan buatan, dan akses internet berkecepatan tinggi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Namun, apakah masyarakat, khususnya pelajar dan remaja, telah memiliki kesiapan literasi untuk menyikapi teknologi ini secara bijak dan bertanggung jawab?

Bacaan Lainnya

Pertanyaan tersebut menjadi semakin penting ketika kita menyadari bahwa literasi digital bukan semata-mata soal kemampuan mengoperasikan perangkat. Lebih dari itu, literasi digital mencakup kemampuan berpikir kritis, bertindak etis, serta memahami konteks sosial dari informasi yang dikonsumsi dan disebarkan. Dalam konteks ini, literasi digital berperan sebagai “kemudi” yang mengarahkan lajunya teknologi agar tidak menabrak tatanan sosial, nilai etika, maupun logika berpikir penggunanya.

Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak masyarakat yang tertinggal dalam hal pemahaman literasi digital. Media sosial, yang semestinya menjadi sarana ekspresi dan kolaborasi, kerap digunakan secara sembrono.

Hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta, ujaran kebencian sering disamarkan dalam bentuk lelucon, dan praktik plagiarisme dianggap sepele karena kurangnya kesadaran, bukan semata-mata karena niat buruk.

UNESCO telah menegaskan bahwa literasi digital tidak hanya soal teknis, melainkan juga melibatkan dimensi etis dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks kegiatan berbahasa, misalnya, kemampuan membaca berita, menulis unggahan, dan berdiskusi di platform digital perlu diiringi dengan keterampilan memilih sumber yang valid, menulis dengan santun, serta memahami struktur dan makna teks.

Menurut Paul Gilster (2007), literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan informasi yang bersumber dari media digital. Kemampuan ini bukan hanya penting bagi masyarakat umum, tetapi terlebih lagi bagi pelajar yang setiap harinya bersinggungan langsung dengan banjir informasi dari berbagai platform. Kemampuan untuk memilah dan menyaring informasi sangat diperlukan agar tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan.

Rendahnya literasi digital bisa menjadikan teknologi sebagai bumerang. Ketika seseorang tidak mampu mengevaluasi informasi yang diterima, maka ia berpotensi menyebarkan berita palsu, mempercayai teori konspirasi tanpa dasar, atau bahkan menjadi pelaku ujaran kebencian.

Contoh sederhana, banyak pelajar yang membagikan poster pendidikan dari sumber tidak valid tanpa melakukan verifikasi. Bahkan, tidak sedikit pula yang menyalin karya orang lain tanpa mencantumkan sumber, karena tidak memahami pentingnya hak cipta.

Tidak hanya itu, individu dengan literasi digital rendah juga rentan menjadi korban kejahatan digital seperti penipuan daring, pencurian data pribadi, bahkan perundungan siber. Maka dari itu, kesadaran digital sangat dibutuhkan, terutama dalam mengelola informasi pribadi dan bersikap di ruang publik digital.

Dalam kehidupan sehari-hari, literasi digital harus diwujudkan dalam bentuk nyata: membagikan informasi yang sudah diverifikasi, menyampaikan pendapat di media sosial secara sopan, dan menghargai perbedaan dengan bijak.

Etika digital dan keamanan informasi juga harus menjadi bagian dari pendidikan, baik formal maupun informal. Setiap pengguna internet dituntut tidak hanya paham cara menggunakan teknologi, tetapi juga mengerti konsekuensi sosial dari tindakannya.

Lebih lanjut, penggunaan literasi digital dalam pendidikan dapat dimaksimalkan melalui berbagai platform seperti Canva, Google Classroom, Zoom, hingga Quizizz. Namun, pemanfaatan ini perlu diimbangi dengan pelatihan literasi digital yang berkelanjutan bagi guru dan pelajar.

Tujuannya bukan hanya agar mereka mampu mengakses konten, tetapi juga mampu menciptakan konten yang bermakna, edukatif, dan bertanggung jawab.

Literasi digital bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan integrasi antara kemampuan kognitif, sosial, dan etis yang harus dimiliki setiap individu di era digital. Bila hal ini tertanam kuat sejak dini, maka pesatnya perkembangan teknologi tidak lagi menjadi ancaman, melainkan alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter masyarakat yang bijaksana serta berintegritas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *