Apakah Anda merasa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian? Pagi hari, baru saja membuka mata, banyak dari kita langsung meraih ponsel untuk membuka berbagai platform media sosial.
Bukan menyapa dunia nyata, tetapi sibuk menggulir layar, memeriksa notifikasi, dan menyerap konten tanpa henti. Sarapan pun tak lepas dari deretan video lucu, berita, atau unggahan teman yang sering kali tidak begitu penting.
Hingga malam tiba, waktu istirahat yang seharusnya menenangkan malah dihabiskan dengan scrolling, sampai tertidur dengan ponsel di genggaman. Fenomena ini semakin menguatkan bagaimana media sosial telah menjadi “dunia kedua” yang mengikat perhatian kita tanpa sadar. Tapi apa sebenarnya yang membuat media sosial begitu sulit untuk ditinggalkan?
Perubahan besar dalam cara kita menggunakan media sosial mulai terlihat dengan kehadiran TikTok. Fitur For You Page (FYP) miliknya berhasil menawarkan pengalaman yang sangat personal dan adiktif.
Algoritma TikTok terasa seperti memahami kita lebih baik daripada diri sendiri, menyuguhkan konten yang seolah dirancang khusus untuk memenuhi selera kita. Ini bukan kebetulan. Aktivitas scrolling yang kita lakukan memicu pelepasan dopamin, zat kimia di otak yang meningkatkan suasana hati dan memberi rasa senang. Namun, ketika dopamin dilepaskan secara berlebihan, ini bisa menimbulkan efek negatif seperti kecemasan, depresi, atau bahkan ketergantungan.
Algoritma yang canggih tidak hanya milik TikTok. Instagram, Facebook, dan YouTube dengan fitur seperti Reels dan Shorts juga mengadopsi strategi serupa. YouTube Shorts, misalnya, diluncurkan di Indonesia pada Juni 2021, memperkuat tren konsumsi konten singkat yang menghibur. Transformasi ini menjadikan media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi juga mesin hiburan yang sangat sulit dilepaskan.
Jika dibandingkan, media sosial dulu berfungsi sebagai platform berbagi dan berkomunikasi. Namun, sekarang, dengan algoritma yang semakin pintar, setiap momen scrolling dirancang menjadi pengalaman mendalam yang memikat.
Tren-tren viral seperti tantangan unik atau joget-joget populer semakin memperparah fenomena ini. Banyak orang merasa takut ketinggalan (fear of missing out atau FOMO) jika tidak terus-menerus membuka media sosial. Kondisi ini menciptakan tekanan sosial untuk selalu mengikuti perkembangan terkini.
Tekanan ini sangat terasa di kalangan generasi muda, terutama mahasiswa. Banyak dari mereka merasa perlu selalu “up to date” agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Sebutan seperti “orang yang baru keluar dari goa” sering muncul untuk menggambarkan mereka yang tidak tahu tren terbaru.
Meski terkesan bercanda, ungkapan ini mencerminkan kuatnya tekanan sosial yang memaksa individu untuk terus mengikuti arus. Akibatnya, media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi menjadi arena kompetisi sosial yang melelahkan.
Ketergantungan pada media sosial tidak hanya memengaruhi produktivitas tetapi juga kesehatan mental. Banyak pengguna merasa cemas jika tidak membuka media sosial, sementara yang lain justru merasa stres karena terus-menerus mengejar tren.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, rasa cemas berlebihan, dan bahkan depresi. Selain itu, penggunaan ponsel yang berlebihan juga berdampak pada kesehatan fisik, seperti mata lelah, sakit kepala, atau gangguan tidur.
Meninggalkan kebiasaan scrolling media sosial tentu tidak mudah. Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi sifat adiktif ini. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kecanduan media sosial adalah masalah yang harus segera diatasi. Tanpa kesadaran ini, usaha apa pun akan sulit membuahkan hasil.
Salah satu cara yang efektif adalah membaca buku. Aktivitas ini dapat menjadi alternatif yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian dari layar ponsel. Selain membantu mengurangi waktu di media sosial, membaca juga meningkatkan wawasan dan memberi rasa puas. Dalam pengalaman pribadi saya, membaca buku membuat saya merasa lebih produktif dibandingkan menghabiskan waktu untuk scrolling tanpa tujuan.
Baca Juga: Generasi Anti Perundungan Menuju Indonesia Emas
Langkah berikutnya adalah menyibukkan diri dengan kegiatan yang lebih bermakna. Saat ini, saya bekerja sebagai desainer grafis sambil menjalani perkuliahan. Awalnya, membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah terasa sulit.
Namun, rutinitas ini membantu saya mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial. Aktivitas produktif seperti bekerja atau menjalankan hobi dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada media sosial.
Selain itu, menetapkan aturan khusus untuk penggunaan media sosial juga sangat membantu. Saya, misalnya, membatasi waktu scrolling maksimal dua jam per hari. Dengan cara ini, saya tetap bisa menikmati media sosial tanpa mengorbankan waktu untuk aktivitas lain yang lebih penting.
Saya juga berusaha mengalihkan fokus dari konsumsi konten menjadi produksi konten, seperti membuat desain grafis atau menulis. Dengan demikian, waktu yang dihabiskan di media sosial terasa lebih bermanfaat.
Selain membaca dan bekerja, ada banyak aktivitas positif lain yang bisa dilakukan untuk menggantikan kebiasaan scrolling. Olahraga, misalnya, tidak hanya baik untuk kesehatan fisik tetapi juga membantu mengurangi stres. Berinteraksi langsung dengan teman atau keluarga juga dapat menjadi alternatif yang lebih sehat untuk menghabiskan waktu.
Baca Juga: Problematika Anak di Bawah Umur dan ‘Social Smoker’
Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Menyisihkan waktu untuk diri sendiri, seperti bermeditasi atau menikmati alam, dapat membantu mengurangi ketergantungan pada media sosial. Dengan perlahan mengubah kebiasaan, kita bisa lepas dari jeratan layar dan kembali menikmati hal-hal sederhana dalam kehidupan.
Media sosial memang menawarkan banyak hal, mulai dari hiburan hingga koneksi dengan orang lain. Namun, jika digunakan secara berlebihan, media sosial dapat menjadi pisau bermata dua yang merusak kesehatan mental dan fisik.
Dengan menyadari dampaknya dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya, kita dapat mengembalikan kendali atas waktu dan perhatian kita. Pada akhirnya, kunci untuk lepas dari kecanduan media sosial adalah konsistensi dalam mengubah kebiasaan dan fokus pada hal-hal yang lebih bermakna dalam kehidupan nyata.





