Transisi Energi di Dapur: Kompor Listrik dan Jalan Panjang Menuju Kemandirian Energi

Penggunaan kompor listrik induksi mulai diperkenalkan sebagai bagian dari transisi energi nasional menuju kemandirian dan efisiensi pemakaian energi di rumah tangga. Sumber foto: PLN / Dokumentasi ESDM
Penggunaan kompor listrik induksi mulai diperkenalkan sebagai bagian dari transisi energi nasional menuju kemandirian dan efisiensi pemakaian energi di rumah tangga. Sumber foto: PLN / Dokumentasi ESDM

Pemerintah terus menggaungkan transisi energi bersih melalui berbagai kebijakan strategis. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah upaya mendorong masyarakat beralih dari kompor berbahan bakar LPG menuju kompor listrik induksi. Kebijakan ini bukan semata soal mengganti alat masak, melainkan bagian dari agenda besar menuju kemandirian energi nasional.

Langkah ini sejalan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang menargetkan peningkatan konsumsi listrik domestik sekaligus menekan impor LPG. Selama ini, ketergantungan terhadap LPG impor menjadi salah satu beban dalam neraca perdagangan negara.

Bacaan Lainnya

Melalui elektrifikasi dapur rumah tangga, pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan tersebut sambil memanfaatkan potensi energi domestik yang melimpah.

Sejak 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PLN telah melakukan uji coba konversi kompor LPG ke kompor listrik di sejumlah daerah, seperti Denpasar dan Solo. Sekitar seribu rumah tangga ikut serta dalam program ini.

Hasilnya cukup menjanjikan: sebagian besar rumah tangga memiliki daya listrik yang mampu menopang penggunaan kompor induksi, terutama jika dibarengi dengan kebijakan subsidi dan penyesuaian tarif bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Penggunaan kompor listrik dapat mengurangi ketergantungan pada impor LPG sekaligus mendorong pemanfaatan energi domestik,” tulis PLN dalam siaran persnya tahun 2022.

Kalangan akademisi pun mendukung arah kebijakan tersebut. Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada menilai bahwa transisi dari LPG ke listrik bukan sekadar persoalan teknis, melainkan strategi sosial-politik energi. Pergeseran ini dapat menjadi tonggak “nasionalisme energi”, yakni upaya menata pola konsumsi agar lebih mandiri dan ramah lingkungan.

Namun, jalan menuju elektrifikasi dapur masih panjang. Tantangan terbesar justru terletak pada sisi sosial dan ekonomi. Di beberapa daerah, keterbatasan pasokan listrik membuat masyarakat sulit beralih.

Sementara itu, harga kompor induksi yang relatif mahal dan tarif listrik yang dianggap memberatkan menimbulkan keraguan, terutama di kalangan menengah ke bawah. Tak sedikit pula masyarakat yang terpengaruh mitos bahwa kompor induksi lebih boros dan berisiko berbahaya.

Transisi energi, karenanya, tidak dapat dilakukan secara top-down. Masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. Edukasi publik dan kampanye partisipatif menjadi kunci penting.

Langkah seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat lewat program “Masak Bersama Kompor Listrik” terbukti efektif memperkenalkan teknologi ini secara langsung dan membangun kepercayaan masyarakat.

Belajar dari pengalaman Tiongkok, keberhasilan transisi dapur mereka didukung oleh kombinasi kebijakan subsidi, penyediaan perangkat terjangkau, dan edukasi masif. Indonesia bisa mengambil pelajaran serupa: memperkuat komunikasi dua arah antara pemerintah dan warga, memperluas infrastruktur kelistrikan, serta menumbuhkan perilaku konsumsi energi yang lebih bijak.

Di sisi lain, generasi muda juga memiliki peran penting. Mereka dapat menjadi agen perubahan dengan menyebarkan informasi yang benar tentang efisiensi kompor listrik, melawan hoaks, hingga melakukan riset sederhana mengenai perbandingan konsumsi energi.

Transisi energi di dapur pada akhirnya bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga soal budaya dan kesadaran kolektif. Jika dikelola dengan kebijakan yang berpihak dan partisipasi publik yang kuat, kompor listrik dapat menjadi simbol baru kemandirian energi Indonesia sekaligus langkah kecil menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *