30% vs 50%: Indonesia dengan Kuota, Meksiko dengan Paritas, Mana yang Lebih Efektif?

Meksiko memperbaiki mesin. Indonesia masih mengecat bodi luarnya. (gg)
Meksiko memperbaiki mesin. Indonesia masih mengecat bodi luarnya. (gg)

Kehadiran perempuan dalam representasi politik pada dasarnya masih menjadi salah satu tantangan demokrasi kontemporer yang paling mendesak. Hal ini, direpre4sentasikan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen global pada awal abad ke-21 masih jauh dari proporsional, dengan rata-rata global berkisar antara 20-25% (Paxton & Hughes, 2017).

Kesenjangan ini mendorong lebih dari 130 negara mengadopsi kebijakan kuota gender sejak tahun 1990-an (Krook, 2009). Namun pertanyaan dasarnya adalah desain kebijakan seperti apa yang paling efektif direpresentasikan negara dalam menjunjung tinggi representasi perempuan di dalamnya?

Bacaan Lainnya

 Dalam mendorong posisi perempuan guna menyetarakan, Indonesia dan Meksiko mengambil kebijakan kouta gender dalam politiknya dengan arah dan regulasi yang berbeda. Pada dasarnya, Indonesia mengadopsi “30% Gender Quota Representation”, yang mengilhami kehadiran perempuan dalam kursi politik sekurang-kurangnya 30%. Semenetraa itu, Meksiko mengadopsi “Mexico Gender Parity Law 50%”, dengan mengilhami adanya kuota paritas 50% yang menekankan angka laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang sama rata.

Indonesia mengadopsi kuota gender 30% melalui UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yang mewajibkan partai politik “memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%” dalam pencalonan legislatif (UU No. 7 Tahun 2017). Formulasi ini mencerminkan “kuota lunak” yang hanya mengatur pencalonan, bukan hasil akhir.

Dalam Pemilu 2004, keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11,3% dengan sistem daftar tertutup. Namun perubahan signifikan terjadi pada 2009 ketika Indonesia beralih ke sistem daftar terbuka, keterwakilan naik menjadi 18,0% namun kemudian stagnan di 17,3% pada 2014, sebelum meningkat moderat ke 21,4% pada 2019 (KPU, 2019). Setelah 21 tahun implementasi, Indonesia masih jauh dari target 30%-nya sendiri, dengan gap 8,6 poin persentase.

Disisi lain, Meksiko menempuh jalur berbeda dengan progresivitas yang lebih jelas. Dimulai dari kuota 30% pada 2002, meningkat menjadi 40% pada 2008, lalu mencapai revolusi konstitusional pada 2014 dengan menetapkan paritas penuh 50%.

Artikel 41 Konstitusi Meksiko yang diamandemen menyatakan bahwa partai politik harus menjamin “paritas gender dalam pencalonan untuk kongres federal dan negara bagian” (Constitución Política, 2014). Hasilnya menakjubkan: dalam Pemilu 2018, perempuan meraih 48,2% kursi di Cámara de Diputados dan 49,2% di Senado (IPU, 2019).

Pada 2021, angka ini mencapai paritas penuh: 50% di Dewan Perwakilan dan 51,2% di Senat (INE, 2021). Hanya dalam 7 tahun sejak reformasi 2014, Meksiko mencapai apa yang tampaknya mustahil, yakni paritas penuh dalam representasi politik.

Perbedaan hasil ini bukan hanya kebetulan, melainkan konsekuensi dari desain institusional yang fundamentally berbeda. Pertama, sistem pemilu memainkan peran krusial. Indonesia menggunakan sistem daftar terbuka (open-list proportional representation) sejak 2009, di mana pemilih memilih kandidat individual dan suara menentukan siapa yang terpilih terlepas dari posisi daftar partai (Aspinall, 2014).

Sistem ini melemahkan efektivitas kuota karena kandidat perempuan harus bersaing langsung dengan laki-laki untuk suara personal tanpa keuntungan struktural. Sebaliknya, Meksiko menggunakan sistem mixed-member dengan komponen daftar tertutup substansial yang memberikan kontrol lebih besar kepada partai dalam menentukan siapa yang terpilih (Baldez, 2004). Penelitian Schmidt dan Saunders (2004) menemukan sistem daftar tertutup meningkatkan efektivitas kuota 30-40% dibandingkan daftar terbuka.

Kedua, mekanisme penempatan kandidat berbeda drastis. Meskipun Indonesia menerapkan sistem “zipper” (setiap tiga kandidat harus ada satu perempuan), penelitian Perdana (2018) menunjukkan 68% kandidat perempuan ditempatkan pada nomor urut 3, 6, atau 9 dengan posisi yang secara statistik kurang menguntungkan.

Dalam sistem daftar terbuka, hal ini mengibaratkan bahwa perempuan harus bekerja lebih keras untuk mengumpulkan suara. Meksiko menerapkan zipper ketat dengan kandidat perempuan dan laki-laki ditempatkan bergantian pada posisi ganjil-genap, dan untuk distrik mayoritas, partai harus mencalonkan perempuan di 50% distrik yang tersebar geografis, tidak boleh hanya di “kantong kalah” (INE, 2020).

Ketiga, dan mungkin paling riskan adalah mekanisme sanksi. Indonesia hanya memiliki sanksi administratif, yakni mengenai KPU yang dapat menolak daftar calon yang tidak memenuhi kuota 30%, tetapi partai dapat mudah memperbaikinya tanpa konsekuensi substantif (Mietzner, 2013). Yang penting, tidak ada sanksi apapun jika hasil akhir pemilu tidak mencapai 30%—kuota hanya berlaku untuk pencalonan.

Meksiko menerapkan pendekatan berbeda: sanksi finansial yang dapat mencapai 100% pendanaan publik partai untuk pelanggaran serius, plus potensi diskualifikasi dari pemilu (Instituto Nacional Electoral, 2020). Karena partai Meksiko sangat bergantung pada dana publik, sanksi ini menciptakan insentif kuat untuk kepatuhan. Penelitian Jones (2009) menunjukkan sanksi finansial meningkatkan kepatuhan 70%, sementara sanksi administratif hanya 25%.

Dalam pengimplementasiannya, data komparatif antara Indonesia dan Meksiko menunjukkan betapa berbeda hasil dari dua model kebijakan representasi gender. Jika melihat keterwakilan aktual dibandingkan target, Indonesia pada Pemilu 2019 berhasil mencapai 21,4% dari target kuota 30%, atau setara dengan 71,3% pemenuhan.

Sementara itu, Meksiko pada 2021 mencapai target paritas secara penuh dengan komposisi 50% perempuan di parlemen. Perbedaan ini juga tampak dalam kecepatan transformasi: Indonesia meningkat dari 11,3% pada 2004 menjadi 21,4% pada 2019, atau sekitar 0,67 poin per tahun. Sebaliknya, Meksiko bergerak jauh lebih cepat, naik dari 36,8% pada 2012 menjadi 50% pada 2021, dengan laju 1,47 poin per tahun.

Implikasinya, proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia, dengan kecepatan saat ini, baru akan mencapai paritas sekitar tahun 2060. Meksiko sendiri sudah mencapainya di tahun 2021. Dari sisi kesenjangan gender, Indonesia pada 2019 masih memiliki gap 57,2 poin antara laki-laki dan perempuan, sementara Meksiko berada di posisi tanpa gap.

Variasi regional pun memperlihatkan kontras: Indonesia memiliki disparitas besar antarprovinsi, misalnya DKI Jakarta 26,5% dan Bali 24,8%, dibandingkan Aceh yang hanya 8,2% dan Papua 9,1%. Meksiko jauh lebih merata, dengan seluruh negara bagian mencapai minimal 40% keterwakilan perempuan dan mayoritas berada pada kisaran 45–52%.

Sehingga, jika melihat mengenai arah kebijakan mana yang lebih efisien, maka Meksiko terbilang jauh lebih efisien. Meksiko dengan paritas 50% jauh lebih efektif dalam mencapai representasi numerik perempuan. Dalam 7 tahun, Meksiko mencapai paritas penuh, sementara Indonesia setelah 21 tahun masih stagnan di 21,4%-70% lebih rendah dari Meksiko dan 29% di bawah target sendiri.

Analisis regresi menunjukkan perbedaan ini bukan karena faktor kultural semata, melainkan karena desain institusional: kombinasi target ambisi tinggi (50% vs 30%), sistem pemilu yang mendukung (mixed dengan komponen tertutup vs sepenuhnya terbuka), sanksi keras (finansial substansial vs administratif ringan), dan penegakan yudisial aktif (200+ putusan vs minimal) (Tan, 2022).

Maka, hal yang dapat dipelajari Indonesia dalam kebijakan gender adalah dengan adanya peningkatan dan kesadaran secara bertahap. Meskipun adopsi penuh model Meksiko mungkin tidak realistis dalam jangka pendek, Indonesia dapat mengadopsi elemen-elemen kunci yang terbukti efektif tanpa reformasi sistem pemilu total, seperti peningkatan target bertahap seperti Indonesia dapat menaikkan target ke 40% dulu untuk Pemilu 2029, dengan rencana mencapai paritas 2034. Trajectory Meksiko sendiri menunjukkan progresivitas bertahap: 30% (2002) → 40% (2008) → 50% (2014) berhasil karena partai diberi waktu menyesuaikan struktur rekrutmen (Baldez, 2004).

Serta, adanya kewajibkan penempatan perempuan di nomor urut 1, 2, 4, 5, 7, 8 dst (sistem ganjil-genap ketat), bukan hanya setiap kelipatan tiga. Ini meningkatkan peluang elektabilitas perempuan bahkan dalam sistem daftar terbuka.

Menunjukkan hal itu sangat mungkin dengan desain institusional tepat. Tetapi jika tujuannya adalah transformasi substantif dalam pembuatan kebijakan dan pemberdayaan politik perempuan, angka saja tidak cukup.

Kita perlu melihat apakah peningkatan keterwakilan menghasilkan perubahan legislatif substantif, apakah perempuan terpilih memiliki otonomi dan agensi politik riil, apakah mereka memegang posisi kepemimpinan dalam komite penting, dan apakah mereka dapat mempengaruhi agenda legislatif secara bermakna.

Pada akhirnya, Lorenzo Córdova, Presiden Instituto Nacional Electoral, mengatakan dengan “Mexico has shown that gender parity in politics is not only possible, but can be achieved in a relatively short time with the right institutional design and strong political commitment.” (Córdova, 2021).

Melihat perkembangan representasi gender di berbagai negara, termasuk Meksiko yang berhasil mencapai paritas penuh, Indonesia sebenarnya sudah memiliki fondasi yang memungkinkan untuk bergerak ke arah yang sama. Tantangannya kini bukan lagi terletak pada sekadar membuktikan apakah peningkatan keterwakilan perempuan dapat dicapai, tetapi pada kemampuan kita membangun komitmen yang konsisten dan terukur.


Referensi

  • Aspinall, E. (2014). Parliament and patronage. Journal of Democracy, 25(4), 96-110.
  • Baldez, L. (2004). Elected bodies: The gender quota law for legislative candidates in Mexico. Legislative Studies Quarterly, 29(2), 231-258.
  • Butt, S., & Lindsey, T. (2018). Indonesian law. Oxford University Press.
  • Cámara de Diputados. (2020). Informe legislativo de género 2015-2020. Congreso de la Unión de México.
  • Caminotti, M., & Freidenberg, F. (2016). Federalismo electoral, fortaleza de las cuotas de género y representación política de las mujeres. Revista Mexicana de Ciencias Políticas y Sociales, 61(228), 121-144.
  • Constitución Política de los Estados Unidos Mexicanos. (2014). Reforma político-electoral, Artículo 41.
  • Córdova, L. (2021). La paridad de género en México: Un logro histórico. Revista Electoral, 31(1), 15-28.
  • CSIS. (2019). Survei nasional tentang persepsi publik terhadap kuota gender. Jakarta: Center for Strategic and International Studies.
  • Franceschet, S., Krook, M. L., & Piscopo, J. M. (2012). The impact of gender quotas. Oxford University Press.
  • INE (Instituto Nacional Electoral). (2020). Protocolo para la atención de la violencia política contra las mujeres. México.
  • INE (Instituto Nacional Electoral). (2021). Estadísticas de resultados electorales 2021. México.
  • IPU (Inter-Parliamentary Union). (2019). Women in national parliaments: World classification.
  • Jones, M. P. (2009). Gender quotas, electoral laws, and the election of women. Comparative Political Studies, 42(1), 56-81.
  • KPU (Komisi Pemilihan Umum). (2019). Rekapitulasi hasil pemilihan umum tahun 2019. Jakarta: KPU RI.
  • Krook, M. L. (2009). Quotas for women in politics. Oxford University Press.
  • Langston, J., & Aparicio, F. J. (2011). Gender quotas are not enough: How background experience affects electoral performance in Mexico. Política y Gobierno, 18(2), 265-297.
  • Latinobarómetro. (2018). Encuesta Latinobarómetro 2018. Corporación Latinobarómetro.
  • Mietzner, M. (2013). Money, power, and ideology: Political parties in post-authoritarian Indonesia. NUS Press.
  • Nisa, K. (2020). Proyeksi keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia. Indonesian Political Science Review, 5(2), 145-162.
  • Paxton, P., & Hughes, M. M. (2017). Women, politics, and power: A global perspective (3rd ed.). SAGE Publications.
  • Perdana, A. (2018). Penempatan perempuan dalam daftar calon legislatif: Analisis Pemilu 2014. Jurnal Politik Indonesia, 3(1), 78-95.
  • Prihatini, E. S. (2019). Women’s political participation in Indonesia: The obstacles and challenges (p. 78). Routledge.
  • Ríos Cázares, A. (2017). The role of courts in gender quota enforcement: The Mexican case. Mexican Law Review, 10(1), 51-78.
  • Schmidt, G. D., & Saunders, K. L. (2004). Effective quotas, relative party magnitude, and the success of female candidates. Comparative Political Studies, 37(6), 704-734.
  • Schwindt-Bayer, L. A. (2018). Gender and representation in Latin America. Oxford Research Encyclopedia of Politics.
  • Tan, N. (2022). Gender quota design and effectiveness: A global analysis. Electoral Studies, 76, 102-118.
  • Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación. (2015). Sentencia SUP-REC-141/2015. México.
  • Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación. (2018). Jurisprudencia en materia de paridad de género. México.
  • UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Republik Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *