Bertahan Menjadi Kakak yang Memiliki Tujuh Alasan untuk Mencukupi Segalanya: 1 Kakak 7 Ponakan Review

Poster Film 1 Kakak 7 Ponakan (int)
Poster Film 1 Kakak 7 Ponakan (int)

Film 1 Kakak 7 Ponakan merupakan adaptasi dari sinetron lawas tahun 1996 dan disutradarai oleh Yandri Laurens. Film ini tayang perdana pada 23 Januari 2025 dan dibintangi oleh Chikko Kurniawan sebagai tokoh utama bernama Moko.

Ia digambarkan sebagai seorang arsitek muda berbakat yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Namun, ambisi dan cita-cita yang telah lama ia genggam terpaksa dikesampingkan demi tanggung jawab yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya.

Bacaan Lainnya

Kehidupan Moko berubah drastis ketika kakak perempuan dan abang iparnya meninggal dunia, meninggalkan empat anak dan satu keponakan yang harus diasuh. Tak lama kemudian, jumlah keponakan yang harus ditanggungnya bertambah menjadi tujuh.

Moko pun mengambil peran sebagai “kakak laki-laki” yang memikul beban besar: membesarkan tujuh keponakan dengan karakter dan kebutuhan yang berbeda-beda. Kisah ini menjadi potret nyata dari kehidupan generasi sandwich, generasi yang berada di tengah tekanan untuk mengejar mimpi pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga.

Film ini menyajikan berbagai adegan yang realistis dan menyentuh, menampilkan ironi kehidupan melalui momen kecil yang mengharukan. Ketegangan emosional dan konflik batin Moko dibingkai secara menyentuh melalui narasi sederhana tapi kuat: bagaimana ia harus memilih antara masa depannya sendiri dan masa depan orang-orang yang ia cintai.

Hubungan Moko dengan kekasihnya, Maurin (diperankan oleh Amanda Rawles), menjadi satu sisi lain dari cerita yang menarik. Maurin adalah sosok perempuan yang tak hanya mencintai Moko, tetapi juga berusaha keras membantu dari segi ekonomi. Namun, Moko enggan menyeret Maurin ke dalam kesulitan yang ia alami.

Ia merasa bahwa penderitaan yang sedang ia alami tidak seharusnya ditanggung oleh orang lain. Ini menjadi salah satu motif ironis yang ditekankan melalui visualisasi adegan-adegan intim dalam ruang sempit, tempat Maurin dan keponakan-keponakan Moko saling berinteraksi, menunjukkan kuatnya ikatan emosional yang terjalin dalam keluarga kecil tersebut.

Seiring waktu, pengorbanan Maurin tidak sia-sia. Berkat dukungannya, Moko berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai arsitek muda dan mulai menata kembali kehidupannya. Ia pun mampu memberi nafkah kepada keluarganya dan secara perlahan membangun stabilitas baru dalam hidupnya.

Namun, perjuangan belum selesai. Ketika salah satu keponakannya harus dirawat di rumah sakit karena usus buntu, Moko dihadapkan pada dilema lain. Di satu sisi, ia sangat membutuhkan laptop untuk menyelesaikan pekerjaan desain yang baru ia dapatkan. Di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kebutuhan medis keponakannya.

Dalam momen inilah pengorbanan kembali diuji. Maurin datang membawa laptop dan membantu merawat keponakan Moko, menunjukkan betapa cinta dan dukungan yang tulus mampu menjadi kekuatan besar dalam menghadapi tantangan.

Konflik semakin memuncak ketika mantan guru les piano Moko datang menitipkan anak perempuannya, Gadis, kepada Moko. Awalnya Moko menolak karena merasa tanggungannya sudah sangat berat. Namun, setelah diberi sejumlah uang dan melihat tekad Gadis yang ingin membantu pekerjaan rumah, akhirnya Moko mengizinkannya tinggal. Sayangnya, Gadis tak pernah dijemput lagi oleh ayahnya dan akhirnya menjadi bagian dari keluarga Moko.

Setelah berhasil meniti kariernya sebagai arsitek dan mendapatkan pekerjaan di luar kota, Moko kembali dihadapkan pada dilema berat. Ia tidak tega meninggalkan Ima, bayi mungil yang kini sangat bergantung padanya.

Malam itu, kakak dan abang iparnya datang dari luar negeri dan berniat menempati rumah tersebut. Mas Eka, abang iparnya, mulai membandingkan pekerjaan lamanya dengan Moko yang hanya berpenghasilan Rp8 juta per bulan.

Mereka berjanji akan menjaga anak-anak Moko selama ia bekerja di luar kota. Namun, janji tinggal janji. Mas Eka ternyata menyalahgunakan uang yang dikirim Moko untuk kepentingan pribadi dan investasi bodong.

Lebih parah lagi, keponakan-keponakan Moko dipaksa bekerja di bawah umur. Kekecewaan dan kemarahan Moko pun meledak, ia merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pengganti peran orang tua bagi keponakan-keponakannya.

Film ini tidak hanya menggambarkan perjuangan seorang generasi sandwich, tetapi juga membongkar stereotip peran gender. Di tengah asumsi masyarakat bahwa merawat anak kecil adalah tugas perempuan, Moko justru tampil sebagai sosok pria yang penuh kasih, lembut, dan tangguh dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak yang bukan anak kandungnya. Para keponakannya pun digambarkan saling bahu-membahu membantu Moko, menciptakan suasana rumah yang hangat dan penuh empati.

Akhir kisah ini mengajarkan bahwa kasih sayang, tanggung jawab, dan pengorbanan bisa datang dari siapa saja, tanpa melihat gender, usia, maupun status. Moko menjadi simbol perlawanan terhadap stigma sosial, dan film ini menjadi pengingat bahwa keluarga tak melulu dibentuk oleh darah, tapi juga oleh cinta dan pilihan untuk tetap bertahan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *