Ketika Alam Tak Lagi Ramah: Salah Siapa?

Ilustrasi by AI
Ilustrasi by AI

Lingkungan hidup bukan sekadar ruang tempat manusia bertahan, melainkan sumber kehidupan seluruh makhluk di bumi. Ia hadir dalam udara yang kita hirup, air yang mengalir di tubuh kita, hingga tanah yang menopang langkah kita.

Alam memberi tanpa pamrih, menjaga tanpa suara. Di balik rimbunnya hutan dan tenangnya aliran sungai, bekerja sistem alami yang menakjubkan: menyerap polusi, menetralkan gas rumah kaca, hingga menjaga keseimbangan iklim global.

Bacaan Lainnya

Namun, di tengah gegap gempita pembangunan dan ambisi pertumbuhan ekonomi, kita kerap lupa bahwa manusia bukanlah pemilik bumi, melainkan tamu. Dan sebagaimana tamu yang baik, seharusnya kita tahu diri—tidak merusak tempat yang dikunjungi.

Para leluhur kita memiliki hubungan yang harmonis dengan alam. Mereka hidup berdampingan dengan lingkungan, membaca arah angin, mengenali waktu dari hujan, dan menanam sesuai dengan musim.

Kearifan lokal seperti sistem subak di Bali atau sasi di Maluku adalah bukti nyata bahwa manusia dan alam bisa saling menjaga. Namun sejak revolusi industri menggulirkan mesin dan memacu pertumbuhan tanpa henti, relasi itu perlahan runtuh.

Hutan mulai dihitung sebagai nilai ekonomi semata, sungai dijadikan tempat pembuangan limbah, dan alam direduksi menjadi grafik pertumbuhan dalam laporan ekonomi.

Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari sembilan juta hektare hutan hujan primer hanya dalam dua dekade terakhir. Yang hilang bukan hanya pohon-pohon, tetapi juga penyangga kehidupan, tempat tinggal flora-fauna endemik, dan ruang hidup masyarakat adat. Tradisi yang dulu menjembatani manusia dengan alam kini terpinggirkan. Deru mesin telah menenggelamkan bisik alam.

Kini, bumi tidak lagi diam. Laporan IPCC tahun 2023 mencatat bahwa suhu rata-rata permukaan bumi telah meningkat sekitar 1,1°C dibandingkan masa pra-industri. Angka ini tampak kecil, namun dampaknya sangat besar: mencairnya es di kutub, kebakaran hutan yang lebih sering, gelombang panas yang mematikan, dan peningkatan risiko banjir di wilayah pesisir. Di Indonesia, lebih dari 3.000 bencana alam terjadi setiap tahun. Banjir, kekeringan, dan tanah longsor bukan lagi kejadian luar biasa, melainkan rutinitas tahunan.

Kita terbiasa menyalahkan alam setiap kali bencana datang. Namun, benarkah alam sepenuhnya bersalah? Faktanya, banyak bencana disebabkan oleh ulah manusia sendiri: pembangunan di kawasan resapan air, pembuangan limbah sembarangan, dan pembabatan hutan yang tak terkendali. Ini bukan takdir alam, tetapi akibat dari keputusan manusia. Perubahan iklim bukan fenomena jauh di kutub utara—ia hadir di halaman rumah kita, dalam bentuk banjir bandang, polusi udara, dan harga pangan yang melonjak.

Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk merespons krisis ini. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi salah satu fondasi hukum. Proyek-proyek rehabilitasi dan restorasi lahan rusak terus digulirkan. Komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060 telah diumumkan.

Namun, di lapangan, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Hutan lindung terus dialihfungsikan, izin tambang masih diberikan di kawasan konservasi, dan konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat masih marak. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jutaan hektare hutan masih berada dalam sengketa.

Aku tinggal di kota yang tumbuh lebih cepat dari kesadaran warganya. Sungai yang dulu menjadi tempat bermain kini berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Hujan semalam saja cukup membuat jalanan tergenang.

Kita tak bisa lagi menyebutnya bencana “alami”, karena kondisi yang menciptakan bencana itu adalah hasil dari pilihan-pilihan keliru manusia sendiri. Kebijakan pembangunan yang abai terhadap lingkungan, perilaku konsumtif, dan sikap acuh menjadi penyebab utama.

Di pesisir utara, aku pernah berbincang dengan seorang ibu penjual ikan. Dahulu, laut yang ia andalkan bersih dan penuh hasil tangkapan. Kini, laut itu keruh dan tercemar oleh limbah industri. Pendapatannya menurun drastis, biaya melaut meningkat, dan cuaca semakin sulit diprediksi.

Anak-anak mereka harus berhenti sekolah karena penghasilan keluarga tidak mencukupi. Rumah mereka pun kerap terendam air laut yang pasang. Krisis ekologis bukan sekadar tentang hutan yang gundul atau tanah yang retak, tapi tentang kehidupan manusia yang perlahan ambruk.

Memang, perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Namun langkah kecil bisa menjadi awal dari perubahan besar. Merawat alam bukan beban, melainkan investasi bagi masa depan. Komitmen pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan harus diiringi dengan pelaksanaan nyata di lapangan.

Dunia pendidikan dapat menjadi ruang untuk menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini. Dunia usaha pun perlu bertransformasi menuju ekonomi sirkular yang tidak boros sumber daya.

Kita semua bisa berkontribusi. Membawa tas belanja sendiri, mengurangi plastik sekali pakai, menanam pohon, dan aktif menyuarakan isu lingkungan adalah bentuk tanggung jawab. Tak perlu menunggu menjadi pemimpin untuk mulai bergerak. Menyelamatkan bumi bukan tugas segelintir orang, melainkan kerja bersama demi generasi mendatang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *