Cerdas Bermedia Sosial: Peran PKN dalam Melawan Berita Hoaks

Menggambarkan momen reflektif sebelum menyebarkan informasi, PKN hadir untuk menuntun warga digital agar selalu menimbang kebenaran sebelum berbagi.
Menggambarkan momen reflektif sebelum menyebarkan informasi, PKN hadir untuk menuntun warga digital agar selalu menimbang kebenaran sebelum berbagi.

Menggugat Realita “Memposting Kebenaran” di Media Sosial

Kita hidup di tengah zaman yang sering disebut sebagai era post-truth yaitu masa ketika emosi lebih dipercaya daripada data, dan opini pribadi lebih dianggap sahih daripada fakta. Dalam ruang maya yang seolah tanpa batas ini, media sosial menjelma menjadi bensin yang menyulut api opini publik. Ia bukan hanya tempat berbagi kabar, melainkan juga medan pertempuran antara fakta dan ilusi.

Ironisnya, ruang yang awalnya diciptakan untuk mempererat koneksi antarmanusia kini berubah menjadi tempat paling subur bagi tumbuhnya hoaks. Survei Katadata dan Kominfo tahun 2022 menunjukkan bahwa Facebook masih menjadi sarang utama penyebaran berita bohong di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Namun, bukan hanya Facebook. Hampir semua platform media sosial menyimpan potensi yang sama: membuat pengguna terperangkap dalam filter bubble gelembung yang hanya memantulkan pandangan kita sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, hoaks bukan lagi sekadar kesalahan informasi. Ia telah menjadi alat politik, senjata kebencian, dan kadang mesin penghancur kepercayaan publik. Dari isu kesehatan hingga politik, dari sentimen agama hingga ekonomi, berita palsu dapat menimbulkan kepanikan massal, bahkan perpecahan sosial.

Maka, pertanyaannya kini bukan lagi “apakah kita akan terpapar hoaks?”, tetapi “bagaimana kita bisa bertahan darinya?”. Di sinilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) memainkan peran yang sering kali luput dari perhatian.

PKN: Dari Kelas ke Dunia Maya

PKN tidak hanya mengajarkan siswa untuk hafal sila-sila Pancasila atau memahami pasal dalam undang-undang. Lebih dari itu, PKN bertujuan membentuk karakter warga negara yang cerdas, beretika, dan kritis terutama di era digital.

Pertama, PKN menanamkan mental warga digital yang beretika. Dunia maya menuntut tanggung jawab moral yang sama seperti dunia nyata. Setiap unggahan, komentar, atau share memiliki dampak sosial. Satu klik bisa memperkuat kebaikan, tapi bisa pula menyalakan bara kebencian.

Dalam konteks ini, PKN menjadi panduan moral agar warga digital tak mudah tergoda menyebarkan kabar bohong, ujaran kebencian, atau menjadi pelaku cyberbullying. Semua ini sejalan dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Selain itu, PKN juga menanamkan nilai toleransi bahwa perbedaan pendapat bukan alasan untuk saling menyerang. Di tengah riuh perdebatan politik atau isu sosial, pelajaran PKN mengingatkan kita bahwa “berbeda itu keren, tapi tidak untuk dipertentangkan.” Nilai ini sangat penting di dunia digital yang sering kali menyanjung yang viral ketimbang yang benar.

Literasi Digital sebagai Tanggung Jawab Kewarganegaraan

Peran penting lainnya adalah integrasi PKN dengan literasi digital. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, melainkan keterampilan berpikir kritis dalam mengakses dan memverifikasi informasi. Dalam pembelajaran PKN, siswa dapat dilatih mengenali tautan berita palsu, memahami clickbait, hingga menggunakan teknik reverse image search untuk memastikan keaslian gambar.

Di sinilah PKN bersinggungan langsung dengan kemampuan berpikir kritis sila keempat Pancasila yang menekankan pentingnya musyawarah dan kebijaksanaan. Melalui pendekatan ini, peserta didik diajak untuk tidak mudah percaya pada satu sumber tunggal. Mereka belajar membandingkan berbagai sumber, memeriksa kredibilitas penulis, dan menimbang motif di balik setiap informasi.

Dengan begitu, literasi digital menjadi bentuk nyata kewarganegaraan aktif di abad ke-21: bukan hanya menjadi pengguna internet yang pasif, tetapi warga digital yang bijak dan bertanggung jawab.

Paham Hukum, Hindari Jerat Digital

Selain etika dan literasi, PKN juga memberikan pemahaman tentang aturan hukum di dunia digital. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur dengan tegas sanksi bagi penyebar berita bohong. Pasal 45A ayat (1) UU ITE (perubahan UU No. 19 Tahun 2016) menetapkan ancaman pidana hingga enam tahun penjara dan/atau denda satu miliar rupiah bagi pelaku penyebaran hoaks yang merugikan publik.

Pasal 28 ayat (2) juga menegaskan larangan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berbasis SARA. Kesadaran hukum seperti ini harus terus ditanamkan agar warga digital tidak terjerumus dalam pelanggaran yang berawal dari tindakan sederhana: asal klik, asal sebar.

PKN juga mengajarkan mekanisme pelaporan hoaks kepada otoritas yang berwenang baik ke platform media sosial maupun lembaga seperti Kominfo dan BSSN, sesuai dengan Peraturan BSSN Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Literasi Media dan Literasi Keamanan Siber.

Cerdas, Kritis, dan Manusiawi

Menjadi cerdas bermedia sosial berarti memahami batas antara ekspresi dan provokasi. Ia menuntut kemampuan untuk berpikir kritis, empati dalam berinteraksi, dan kesadaran akan dampak setiap kata yang diucapkan.

Kita bisa mulai dari hal kecil: memeriksa sumber berita sebelum membagikannya, melapor jika menemukan informasi menyesatkan, membatasi waktu berselancar di dunia maya, hingga memilih untuk berhenti mengikuti akun yang membuat stres atau menebar kebencian.

PKN, dalam konteks ini, bukan sekadar pelajaran sekolah, melainkan kompas moral bagi warga digital. Ia menuntun kita agar tidak tenggelam dalam arus informasi yang menyesatkan, sekaligus menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam ruang digital yang semakin riuh.

Karena pada akhirnya, keberhasilan melawan hoaks bukan hanya soal regulasi atau teknologi, melainkan soal karakter manusia. Dan karakter itulah yang seharusnya menjadi inti dari setiap pelajaran kewarganegaraan.

Referensi

  • Katadata Insight Center (KIC) & Kominfo. (2022). Status Literasi Digital di Indonesia. (Menyebutkan temuan bahwa media sosial, khususnya Facebook, menjadi sarana utama penyebaran hoaks).
  • Armawi, A. (2020). Reduksi Informasi Hoax di Era Digital Melalui Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila. PKn Progresif: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Kewarganegaraan, 15(1). (Menekankan peran karakter berbasis Pancasila dalam menangkal hoaks).
  • Gilster, P. (1997). Digital Literacy. (Definisi literasi digital yang mencakup kemampuan memahami dan menggunakan informasi).
  • Jurnal Universitas Padjadjaran. (2023). Hubungan antara kemampuan literasi digital dengan pencegahan berita hoaks di kalangan mahasiswa. (Informatio, 3(September 2022) 165-184). (Menunjukkan korelasi signifikan antara kemampuan pencarian/evaluasi informasi dengan pencegahan hoaks).
  • ResearchGate. (2025). Literasi Digital Berbasis Pancasila: Strategi PKn Menangkal Hoaks di Era 2025. (Menyebutkan bahwa penguatan literasi digital yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila esensial untuk menyaring informasi secara kritis dan bertanggung jawab).
  • Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Pasal 45A ayat 1 mengenai sanksi bagi penyebar berita bohong).
  • Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. (Pasal 28 ayat 2 mengenai larangan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian SARA).
  • Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). (2021). Peraturan Badan Siber dan Sandi Negara Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Literasi Media dan Literasi Keamanan Siber. (Regulasi yang mengatur upaya peningkatan literasi media dan keamanan siber di Indonesia).


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *