Ciputat, sebuah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, memiliki peran strategis dalam lanskap kawasan Jabodetabek. Dikenal luas sebagai kawasan pendidikan karena menjadi lokasi kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat telah berkembang menjadi magnet bagi pelajar, pekerja, dan pelaku usaha.
Namun sayangnya, pesatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi tidak diiringi dengan tata kelola kota yang memadai. Akibatnya, muncul berbagai permasalahan perkotaan yang kian mengakar dan memengaruhi kualitas hidup warganya.
Salah satu persoalan paling nyata yang dihadapi Ciputat adalah kemacetan lalu lintas. Keluhan ini tidak hanya datang dari warga, tapi juga pengunjung yang kerap melewati kawasan tersebut. Titik-titik rawan macet, seperti Pasar Ciputat, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Ir. H. Juanda, menjadi saksi kemacetan harian yang nyaris tak pernah terurai.
Infrastruktur jalan yang sempit, maraknya parkir liar, dan volume kendaraan yang tinggi memperburuk kondisi. Ironisnya, kehadiran flyover Ciputat yang diharapkan menjadi solusi, ternyata hanya memindahkan titik kemacetan ke lokasi lain.
Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan masih bersifat sementara, tanpa menyentuh akar persoalan, seperti minimnya transportasi publik yang andal serta lemahnya penegakan aturan lalu lintas.
Selain kemacetan, krisis pengelolaan sampah menjadi isu lain yang tak kalah serius. Di berbagai titik, terutama di Pasar Cimanggis, tumpukan sampah dibiarkan menumpuk hingga menutupi sebagian ruas jalan.
Bau busuk yang menyengat dan pemandangan yang kumuh tak hanya merusak estetika kota, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran atas dampak kesehatan yang bisa muncul. Lemahnya sistem pengelolaan sampah—baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun partisipasi masyarakat—menjadi penyebab utama.
Keterbatasan tempat penampungan sampah, kurangnya armada pengangkut, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan memperparah kondisi ini.
Masalah berikutnya yang perlu disoroti adalah kualitas udara yang kian memburuk. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup, Ciputat menjadi salah satu wilayah dengan kualitas udara terburuk di Tangerang Selatan.
Polusi dari kendaraan bermotor, pembakaran sampah secara terbuka, serta tingginya kepadatan penduduk menjadi penyumbang utama buruknya kualitas udara. Namun sayangnya, isu lingkungan ini belum menjadi prioritas yang mendapat perhatian serius dari para pemangku kebijakan.
Di sisi lain, Ciputat juga kekurangan ruang terbuka hijau dan fasilitas publik yang memadai. Kurangnya taman kota, jalur pedestrian yang layak, serta minimnya area bermain anak-anak menunjukkan bahwa pembangunan kawasan ini tidak berorientasi pada kenyamanan dan keberlanjutan. Penataan kota yang semrawut membuat Ciputat tidak ramah bagi pejalan kaki dan pengguna transportasi umum.
Permasalahan Ciputat bukan semata persoalan infrastruktur. Lebih jauh dari itu, ini adalah cermin dari lemahnya kesadaran kolektif, minimnya keberanian politik, serta kurangnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Solusi yang diperlukan harus bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Revitalisasi pasar, penataan transportasi publik, pembangunan ruang hijau, serta edukasi lingkungan bagi masyarakat menjadi langkah awal yang mendesak.
Namun, perubahan tidak akan berarti tanpa keterlibatan masyarakat. Warga Ciputat perlu aktif menjaga kebersihan lingkungan, mematuhi aturan lalu lintas, serta berkontribusi dalam program-program sosial yang membangun kesadaran bersama.
Ciputat memiliki potensi besar untuk menjadi kawasan urban yang sehat, ramah, dan nyaman ditinggali. Tetapi potensi itu hanya akan menjadi narasi kosong jika tidak ada upaya konkret dari semua pihak.
Ciputat kini berada di persimpangan jalan: apakah tetap tenggelam dalam permasalahan klasik kota besar, atau bangkit menjadi kota yang lebih manusiawi dan tertata? Jawabannya ada pada komitmen bersama, antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan untuk membawa perubahan yang nyata.
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





