Beberapa waktu lalu, sebuah video tentang acara wisuda SMA di Purwokerto mendadak viral di media sosial. Bukan karena pencapaian akademik siswanya, melainkan karena kemewahan acaranya.
Acara tersebut digelar di gedung besar, para siswa mengenakan toga layaknya mahasiswa, sementara para guru menggunakan kalung gordon seperti yang biasa dipakai dalam wisuda sarjana. Netizen pun ramai bertanya-tanya, “Lho, bukannya wisuda SMA sudah dilarang?” Lalu, apakah acara seperti itu melanggar aturan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu makna dari wisuda. Secara umum, wisuda merupakan sebuah seremoni kelulusan yang diselenggarakan untuk merayakan pencapaian setelah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.
Awalnya, acara ini memang identik dengan kelulusan mahasiswa di perguruan tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, praktik wisuda ini juga menjalar ke jenjang pendidikan lainnya, mulai dari TK hingga SMA.
Niat menggelar wisuda di tingkat SMA sebenarnya tidak salah. Ini bisa menjadi momen berharga untuk mengenang perjalanan akademik dan transisi menuju fase kehidupan baru. Tapi sayangnya, seiring waktu, bentuk perayaannya semakin mewah dan terkesan meniru prosesi wisuda perguruan tinggi. Bahkan, banyak yang menganggap bahwa acara seperti ini hanya menjadi ajang pamer di media sosial.
Dari sudut pandang psikologi, beberapa ahli berpendapat bahwa wisuda bisa memberikan dampak positif secara emosional. Momen ini memberi penghargaan kepada siswa atas usaha mereka selama bertahun-tahun di sekolah, serta menjadi titik awal memasuki kehidupan dewasa. Namun, jika pelaksanaannya berlebihan dan menuntut biaya besar, hal ini justru bisa menimbulkan tekanan sosial, terutama bagi orang tua yang merasa terbebani secara finansial.
Dalam konteks pendidikan, peran guru dan kepala sekolah sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai kelulusan yang sederhana namun bermakna. Mereka tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan kepekaan sosial.
Ketika mereka mampu menyampaikan makna kelulusan dengan bijak dan tidak berlebihan, maka mereka turut membangun budaya pendidikan yang lebih sehat dan empatik.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan pemerintah mengenai wisuda di tingkat SMA? Ini adalah hal yang kerap disalahpahami publik. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyampaikan imbauan agar sekolah—terutama sekolah negeri—tidak mengadakan wisuda yang bersifat formal dan memberatkan biaya orang tua.
Meskipun demikian, aturan ini lebih bersifat anjuran, bukan larangan mutlak. Beberapa daerah bahkan melarang secara tegas, tergantung pada kebijakan lokal dan pertimbangan sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Dalam kasus yang viral di Purwokerto, sekolah yang menggelar wisuda mewah tersebut merupakan sekolah swasta. Artinya, mereka tidak secara langsung melanggar aturan, karena pembatasan kegiatan seremonial lebih ketat diterapkan pada sekolah negeri. Meski demikian, publik tetap mengkritik pelaksanaannya karena dianggap berlebihan dan tidak sensitif terhadap kondisi sosial sebagian orang tua murid.
Kenapa fenomena ini memicu pro-kontra? Salah satu alasannya adalah karena bentuk acaranya yang terlalu mewah dan menyerupai wisuda universitas. Banyak yang merasa acara seperti itu hanya untuk konten dan pencitraan, bukan substansi. Namun, di sisi lain, ada juga yang beranggapan bahwa acara tersebut adalah wujud kebanggaan orang tua terhadap pencapaian anaknya.
Jadi, salah atau tidak? Tidak sepenuhnya salah jika wisuda dilaksanakan dengan tujuan yang positif, tanpa paksaan dan tidak membebani. Yang lebih penting adalah menjawab pertanyaan mendasar: wisuda ini sebenarnya untuk siapa? Untuk anak? Orang tua? Atau sekolah?
Hal yang paling layak dirayakan dalam kelulusan adalah perjuangan siswa selama menjalani pendidikan, bukan sekadar perayaannya. Apakah mereka siap melangkah ke jenjang berikutnya? Sudahkah mereka dibekali ilmu dan karakter yang kuat? Itulah esensi dari makna kelulusan.
Pengalaman pribadi saya mengikuti wisuda SMA adalah momen penuh kehangatan bersama teman-teman. Sebuah kenangan terakhir sebelum masing-masing dari kami menjalani jalan hidup yang berbeda. Pakai toga atau tidak, yang terpenting adalah kita lulus dengan semangat dan kesiapan menghadapi dunia yang lebih luas. Karena pada akhirnya, yang pantas dirayakan bukan acaranya, tetapi perjuangannya.